Laman

Tulisan Kacau Sekacau Kacaunya

Gambar diambil dari google.com - mungkin memiliki hak cipta
Dengan pengetahuan saya yang dangkal, saya memaksa membuat hipotesis tentang dendang negeri ini. Indonesia Raya. Yang terdengar mulai sumbang bahkan gaduh, dengan irama yang tak pasti. Setiap saat bisa berubah tergantung persepsi adikara. Hukum, berubah menjadi pusaka bagi pemilik kapital dan begitu tajam bagi kaum sudra. Dendang negeri ini gaduh mengiringi lakon yang diperankan, gareng, petruk, atau bahkan yang bergaya seperti arjuna. 

Saya sadar peran saya dan kebanyakan dari kita sebatas pion yang setiap saat bisa diwadalkan. Kekuatan kita jika berlaku layaknya semut. Namun hari ini, kita telah menjadi aku dan kamu. Terkotak - kotak seperti baju kotak. Berterbangan seperti laron yang setiap saat siap dimangsa katak beringas. Atau hewan lain yang begitu kelaparan.  Tapi saya atau kita pasti ingin mendengar dendang yang indah tentang negeri, bukan hiruk pikuk seperti Suriah atau Palestina. 

Kalau saya diminta memainkan irama yang merdu, tentulah saya tak sanggup. Saya tidak berbakat dalam musik. Tapi saya penggemar musik. Saya suka keindahan. Saya suka kedamaian. Saya percaya pada mereka untuk memainkannya. Melaui sistem perwakilan walau terkadang tidak mau mewakili. Bernyanyilah, bukan hanya di sosial media. Biarkan semua mendengar nyanyian kerinduan akan Indonesia ber-Pancasila. Segenap hati dan jiwa, untukmu Indonesia Raya.

Hari ini, saya cukup tercengang. Dendang ini rusak karena tingkah bocah pintar, nakal, arogan yang memainkan musik berbeda. Beda bukanlah suatu kesalahan. Beda adalah fitrah. Tapi seharusnya beda juga tidak merusak warna yang telah ada. Warna yang dimiliki banyak orang. Yang diyakini kebenarannya oleh orang - orang tersebut.

Tapi layaknya anak emas, setiap kesalahan anak selalu dibenarkan orang tua. Karena sayang? Atau karena tekanan om dan tantenya? Entahlah. Semoga kakek neneknya tidak pula ikut campur, karena orang tuanya sudah dewasa untuk mendidik anaknya. Kakek dan nenek bagusnya banyak berdoa karena sebentar lagi ajal menjemput. Itu pun kalau percaya bahwa akan kehidupan setelah mati. Itu pun kalau percaya omongan para peramal di masa lalu.

Kesalahan terus diulang, bukan terulang, tapi diulang, dan kembali tampak nyata terlindungi. Anak emas ini cukup sakti. Mungkin dia memiliki ilmu rawarontek, atau ajian pancasona. Belajar sampai negeri China. Jika ilmu kebal itu dianggap tak cukup, datangkan jagoan - jagoan kungfu dengan KTP palsu. Jagoan kungfu yang siap menjatuhkan lawan - lawannya. Saya sangat percaya anak itu sakti. Mungkin juga karena dilindungi Mak Lampir dari Gunung Merapi.

Ah... makin jauh tulisan ini makin ngaco, tidak tahu apa yang ditulis. Biarkanlah, setidaknya hati saya tenang walau tidak senang. Karena besok saya harus memilih walau tak ada pilihan. Tapi saya dewasa. Saya bukan kaum abu - abu. 

Pada akhirnya harapku ingin mendengar lagu syahdu. Mainkanlah dengan merdu. Walau mungkin dengan warna berbeda. Saya tak peduli, selama keadilan itu masih di atas segala - galanya. Selama dalam darah masih mengalir lagu Indonesia Raya. Dengan dasar negara Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa selama - lamanya. Amin..,

No comments:

Post a Comment