“Siapa yang menguasai kurikulum,
maka ia menguasai bangsa dan negara” . Demikian salah satu kalimat yang
terlontar dari salah seorang dosen pascasarjana pada program IPS Unindra, Dr.
Hj. Sartini, pada saat perkuliahan. Menurutnya, kurikulum memiliki peran yang
sangat besar dalam membentuk karakter bangsa. Maju mundurnya kualitas suatu
bangsa, sangat ditentukan dari bagaimana kurikulum yang ada pada bangsa
tersebut.
Pengertian kurikulum sangat
beragam, mulai dari aliran tradisional (klasikal) sampai dengan kontemporer. Kesemuanya mengacu kepada perencanaan tentang
proses pendidikan yang akan dilaksanakan disuatu negara. Berdasarkan UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003, kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Seiring dengan bergantinya
pemerintahan dan kebijakan, kurikulum pun sudah beberapa kali mengalami
pergantian mulai dari kurikulum Rentjana Pelajaran (1947) sampai dengan
kurikulum terbaru yang dikenal sebagai kurikulum 2013. Berikut kurikulum yang
pernah berlaku di Indonesia :
-
Rentjana Pelajaran (tahun 1947)
-
Rentjana Pelajaran terurai (tahun 1952)
-
Rentjana Pendidikan (tahun 1964)
-
Kurikulum 1968 (tahun 1968)
-
Kurikulum 1975 (tahun 1975)
-
Kurikulum 1984 (tahun 1984)
-
Kurikulum 1994 (tahun 1994)
-
Kurikulum Berbasis Kompetensi (tahun 2004)
-
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan /KTSP (tahun
2006)
-
Kurikulum 2013 (tahun 2013)
Masing – masing kurikulum
memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dari kurikulum yang lain.
Terakhir kita memiliki kurikulum 2013 dengan ciri khas perubahan paradigma
berpikir yang harus dimiliki setiap penyelenggara pendidikan yaitu agar tidak
lagi memfokuskan diri pada ranah kognitif, tapi harus mulai bergeser menyentuh
kepada ranah yang lain terutama afektif dalam kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan. Intinya, kurikulum 2013 menekankan kepada pengembangan karakter
bangsa sehingga apa yang terjadi selama ini – terdidik tapi tidak bermoral –
tidak lagi terjadi.
Dalam ranah empirik, kurikulum
2013 menarik untuk didiskusikan. Terlepas dari setuju atau tidak, nyatanya
pemerintah kini sudah menerapkan kurikulum tersebut. Maka, yang harus segera berbenah
dan menyiapkan diri adalah tiga pilar utama penyelenggara pendidikan yaitu guru
sebagai pelaksana, kepala sekolah sebagai penjamin perubahan pada satuan
pendidikan, dan pengawas sebagai penjamin guru dan kepala sekolah agar
bertindak sesuai dengan yang diamanatkan perundangan. Ketiganya harus
bersinergi demi terwujudnya cita-cita dari kurikulum 2013.
Sayangnya, dalam tataran teknis,
banyak sekali terdengar nada sumbang dari pelaksana pendidikan, seperti masih
adanya kalimat “biarkanlah ganti kurikulum, toh ngajar mah begini – begini saja dari
dulu” “bosen ganti – ganti kurikulum, belum juga berhasil kurikulum yang lama,
sudah ada yang baru”. Dan masih banyak lagi kalimat dari obrolan santai
dikalangan pendidik yang apatis terhadap kurikulum 2013. Tentu ini menjadi
masalah serius dan harus segera dicarikan solusinya. Karena sebagus apapun
kurikulum 2013, jika guru sebagai pelaksana tidak memahami dengan jelas arah
dari kurikulum ini, maka sudah dipastikan tidak akan ada perubahan dalam
penyelenggaraan pendidikan yang mereka lakukan. Ibarat memberi sebuah traktor
kepada petani yang tak bisa menggunakannya, yang terbiasa menggunakan cangkul
dan sudah nyaman menggunakan cangkul.
Jika kita coba membandingkan
antara satu kurikulum dengan kurikulum yang lain, maka pada dasarnya tidak ada
kurikulum yang lebih baik. Satu sama lain pasti memiliki kelebihan atau
kekurangan. Pun demikian dengan kurikulum 2013. Dewan Pendididikan Daerah
Istimewa Yogyakarta melihat beberapa kelemahan dari kurikulum ini, seperti adanya
pertentangan dengan UU Sisdiknas 2003, anggapan pemerintah yang menyamaratakan
kapasitas pendidik, dan pengintegrasian mata pelajaran yang tidak serumpun
(edukasi.kompas.com).
Hal mendasar yang harus segera
dilakukan dalam menyambut kurikulum 2013 adalah merubah paradigma penyelanggara
pendidikan. Diperlukan sosialisasi yang lebih intensif, baik secara berkelompok
dalam tataran folum ilmiah, atau melalui kaderisasi oleh para pengawas kepada
guru dengan cara berkomunikasi secara langsung dan lebih intensif lagi. Tidak
hanya penjelasan teknis bagaimana kurikulum 2013 dilaksanakan, tapi fokuskan
kepada “gurulah yang harus berubah”, karena guru adalah pelaksana yang
berinteraksi langsung dengan sasaran kurikulum yaitu siswa.
Mengenai masih adanya kelemahan di
dalam kurikulum 2013, saat ini bukan lagi untuk diperdebatkan. Maksimalkan apa
yang ada dikurikulum ini, terutama penekanannya pada aspek pengembangan
karakter bangsa. Harapannya, dengan adanya kurikulum 2013, anak bangsa menjadi
hebat, tidak hanya dalam ranah pengetahuan, tapi juga moral.
Biodata Penulis :
Nama : Didi Apriatna, S.Pd
Pekerjaan : Guru di SMPN 1
Cikeusal
No comments:
Post a Comment