Oleh Dr. Saleh A.Djamhari
Pada saat akan merumuskan draf surat perintah, Amir Machmud menyarankan agar dibentuk tim yang diketuai oleh Basuki Rachmat dan Sabur sebagai sekretaris. Amir Machmud tidak duduk dalam tim, namun dalam kenyataannya ikut berperan memberikan kontribusi pikiran dalam draf tersebut. Penyusunan draf dilakukan di ruang tengah paviliun presiden.
Kira - kira menjelang magrib, menurut Mangil, Jenderal Sabur datang ke paviliun Mangil, meminta mesin ketik dan kertas kepada Staf Ajudan Presiden. "Gue mau bikin surat perintah nih", kata Sabur kepada Mangil. Mangil tidak memperhatikan naskah yang diketik Sabur. Sesudah mengetik ia dengan terburu - buru kembali ke paviliun presiden. (H. Mangil Martodidjojo, 1999, hal. 425).
Setelah menerima laporan draf surat perintah selesai diketik, Presiden Soekarno memanggil ketiga Waperdam bersama tiga perwira tinggi itu berkumpul di meja makan paviliun. Ikut hadir pula dalam pertemuan itu Ny. Hartini Soekarno. Suasana dalam ruang makan itu sangat santai. Sabur memohon maaf, karena hasil ketikannya tidak memenuhi syarat administratif, karena draf surat perintah itu terdiri atas dua halaman. Amir Machmud menyela, bahwa dalam revolusi, hal - hal yang tidak prinsipil tidak perlu diperhatikan (Saleh A. Djamhari, 1986, hal. 53).
Presiden menerima draf surat perintah dari Sabur, dibacanya. Kemudian ia menyerahkan kepada Waperdam Leimena dan pada gilirannya Waperdam Dr. Soebandrio, presiden bertanya : "Bagaimana Ban, kau setuju?". "Setuju?" pertanyaan diulangi.
Dr. Soebandrio menjawab, "Bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami". Bung Karno memotong, "Tapi kau setuju?".
"Kalau bisa perintah lisan saja" jawab Soebandrio dengan memberanikan diri. Ketiga jenderal itu melotot ke arah Dr. Soebandrio, tapi ia tidak merasa takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat Dr. Soebandrio yang terkahir itu. Tapi Soebandrio tahu, mereka tidak bisa berbuat banyak. (Dr. Soebandrio, 2001, hal 55).
Suasana santai berubah menjadi tegang. Tiba - tiba Amir Machmud menyela "Bapak Presiden tanda tangan sajalah. Bismillh saja Pak" (Dr. Soebandrio, 2001, hal. 55)
Akhirnya draf surat perintah itu ditandatangani oleh presiden dihadapan ketiga Waperdam, empat orang perwira tinggi (Basuki Rachmat, Amir Machmud, M. Jusuf, dan Sabur) dan istri presiden Ny. Hartini Soekarno. Dengan demikian draf surat perintah yang tidak memenuhi syarat administratif itu, sah menjadi surat perintah resmi.
Adapun isi surar perintah yang intinya mmerintahkan kepada Letnan Jenderal Soeharto Menteri/Penglima Angkatan Darat, untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi :
- Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi.
- Menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi
- Melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi
Peristiwa ini merupakan tragedi dalam karir politik Soekarno. Soekarno tidak lagi mampu menghadapi tekanan politik yang begitu dahsyat seorang diri. Kampanye politiknya yang ia rencanakan sendiri selama tiga hari telah gagal total. Surat Perintah 11 Maret 1966, adalah suatu bentuk formal dari resiko kepemimpinan perjuangan yang dipilihnya sebagai pemimpin rakyat.
Catatan :
Mengapa Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966?
Terdapat beberapa kemungkinan alasan mengapa Soekarno mengeluarkan surat perintah ini antara lain :
- Manuver politiknya gagal (kampanye tiga hari)
- Mempercayai Soeharto, setelah terjadi dialog
- Takut/ketakutan jiwanya terancam
- Sadar, telah ditinggalkan pendukungnya dengan pelbagai alasan (takut, tidak percaya kepada Soekarno, mbalelo)
- Sadar, konsep revolusinya gagal, hasilnya paradox
- Watak Soeharto yang Koppig, berpendirian tegas, dihormatinya dan dipercaya mampu memimpin Indonesia
- Mengutamakan persatuan sebagai prinsip, lebih baik mundur daripada bangsa Indonesia terpecah belah
- Secara kultural, sebagai orang Jawa (Timur) berhadapan dengan orang Jawa (Tengah), dengan konsepnya mikul duwur mendhem jero, hubungan Bapak - anak, dihormati oleh Soakerno.
Sumber :
Sejarah Indonesia, Bahan Bacaan Penunjang Oleh Dr. Saleh A. Djamhari (Diktat Kuliah S2 PIPS Unindra, Jakarta)
No comments:
Post a Comment