Laman

Mengenal Pahlawan Nasional Dari Banten

Jagoan Banten - Arti pahlawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani. 

Seorang pahlawan memiliki sifat berani, rela berkorban dan ksatria. Dengan mengacu pada pengertian di atas, Banten tentu saja memiliki banyak sekali sosok pahlawan terutama mereka yang menjadi perintis dan pejuang kemerdekaan. Namun demikian tidak semuanya mendapat gelar pahlawan nasional. 

Pahlawan Nasional adalah gelar penghargaan tingkat tertinggi di Indonesia. Gelar anumerta ini diberikan oleh Pemerintahan Indonesia atas tindakan yang dianggap heroik – didefinisikan sebagai "perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya" – atau "berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara" 

Kementerian Sosial Indonesia memberikan tujuh kriteria yang harus dimiliki oleh seorang individu, yakni :

1. Warga Negara Indonesia yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya:

a. Telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik/perjuangan dalam bidang lain mencapai/merebut/mempertahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
b. Telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara.
c. Telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.

2. Pengabdian dan Perjuangan yang dilakukannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi tugas yang diembannya.

3. Perjuangan yang dilakukan mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

4. Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan/nasionalisme yang tinggi.

5. Memiliki akhlak dan moral yang tinggi.

6. Tidak menyerah pada lawan/musuh dalam perjuangannya.

7. Dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya.

Pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 179 orang sebagai pahlawan nasional, tiga di antaranya berasal dari Banten. Siapa sajakah mereka? Berikut uraiannya :

1. Sultan Ageng Tirtayasa



Sultan Ageng Tirtayasa atau Pangeran Surya (Lahir di Kesultanan Banten, 1631 – meninggal di Batavia, Hindia Belanda, 1692 pada umur 60 - 61 tahun) adalah Sultan Banten ke-6. 

Ia naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhiryang wafat pada tanggal 10 Maret 1651, setelah sebelumnya ia diangkat menjadi Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati, menggantikan ayahnya yang wafat lebih dulu pada tahun 1650.

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten periode 1640-1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya, kemudian ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Dipati. 

Setelah kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai Sultan Banten ke-6 dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. 

Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar.

Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. 

Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tackdan Saint-Martin.

2. Syafrudin Prawiranegara



Syafrudin Prawiranegara lahir di Serang, Banten pada 28 Februari 1911 dan meninggal di Jakarta pada usia 77 tahun atau pada tahun 1989. 

Pada masa kecil, ia di panggil "Kuding" oleh orang tuanya yang berasal dari kata Udin pada nama Syafrudin. 

Syafrudin mulai menempuh pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) atau sekolah dasar pada tahun 1925. Kemudian dilanjutkan ke MULO atau sekolah menengah pertama pada tahun 1928 serta AMS atau sekolah menengah atas pada tahun 1931. 

Berikutnya ia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshoogeshcool) - sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia- pada tahun 1939 dan meraih gelar Meester in de Rechten (setara magister hukum). 

Beberapa kontribusinya kepada Bangsa Indonesia antara lain :

1. Sebelum kemerdekaan :
Sebagai anggota Badan Pekerja KNIP (1945) yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum ditetapkan MPR dan DPR

2. Setelah kemerdekaan :
Wakil Perdana Menteri ke 3 (4 Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (19 Desember 1948 - 13 Juli 1949)
Menteri Keuangan Indonesia ke-5 (2 Oktober 1946 - 26 Juni 47 dan 6 September 1950 - 27 April 1951 )
Menteri Perdagangan Indonesia ke-4 (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)
Menteri Pertanian Indonesia ke-5 (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)

Kalau boleh berpendapat, jasa terbesar Mr. Syafrudin Prawiranegara adalah pada saat ia menjadi Ketua PDRI. 

Sebutan ketua sendiri kadang masih diperselisihkan antara kata presiden atau pelaksana tugas harian presiden. Yang jelas saat itu Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta serta pejabat tinggi lainnya berhasil di tangkap Belanda pada Agresi Militer Belanda II. Belanda mengumumkan pada dunia bahwa Indonesia sudah tidak ada karena Ibu Kota Yogyakarta berhasil direbut beserta berhasil menangkap para pimpinan Indonesia. 

Dalam keadaan genting tersebut (yang mungkin saja menjadi akhir Indonesia), Mr. Syafrudin Prawiranegara mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan berdasarkan mandat yang ada, jabatan presiden diambil alih oleh beliau. 

Beserta tokoh nasional lainnya, ia berjuang membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. 

Setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang memaksa Belanda melakukan perundingan dengan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB), akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dengan nama Republik Indonesia Serikat dan jabatan Presiden kembali kepada Ir. Soekarno.

Mr. Syafrudin Prawiranegara juga sangat berjasa pada saat menjabat Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta II dengan mengeluarkan kebijakan Gunting Syafrudin. Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi ekonomi Indonesia yang terpuruk - utang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung tinggi. 

Kebijakan Gunting Syafrudin berupa kebijakan memotong (dalam arti sebenarnya) uang merah (uang NICA) dan uang De Javanesche Bank yang bernilai Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri pada nantinya akan ditukar di bank untuk dijadikan alat pembayaran yang sah dengan nilai setengahnya dari nilai awal. Sedangkan guntingan sebelah kanan dinyatakan tidak berlaku tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara yang akan dibayar 30 tahun kemudian dengan bunga 3 % setahun. 

Selain itu, Mr. Syafrudin Prawiranegara juga mengeluarkan kebijakan Sertifikat Devisa (SD). Kebijakan ini dalam rangka mendorong ekspor dan menekan impor. 

Berdasarkan kebijakan tersebut, selain mendapatkan uang sesuai harga barangnya, para eksportir juga akan memperoleh SD sebesar 50% dari nilai ekspor. 

Sebaliknya, para importir selain menyediakan uang senilai harga barang yang dibeli, mereka juga diwajibkan membeli SD dengan kurs yang ditetapkan pemerintah.

Dua kebijakan Mr. Syafrudin tersebut tentu saja menuai pro kontra. Namun ternyata hasilnya mujarab. Kedudukan rupiah menguat, harga barang pokok tidak naik dan pemasukan pemerintah meningkat tajam atau bahkan berlipat - lipat dari 1,871 miliar menjadi 6,990 miliar.

Nama Syafrudin Prawiranegara mulai meredup ketika ia terlibat Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958. 

Syafrudin diangkat sebagai Perdana Menteri PRRI dan kemudian membentuk kabinet tandingan sebagai jawaban atas di bentuknya Kabinet Juanda di Jawa. Namun demikian PRRI tetap mengakui Soekarno sebagai presiden PRRI karena ia diangkat secara konstitusional. 

PRRI sendiri muncul akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan sosial yang terjadi. 

Pada masa tuanya, ia memilih lapangan dakwah sebagai kesibukannya sekali pun sering kali ia dilarang naik mimbar oleh pemerintah. Ia juga sempat menulis buku "Sejarah Moneter" dengan dibantu Oei Beng To, Direktur Lembaga Keuangan Indonesia. Diantara quote nya yang terkenal yaitu "Saya ingin mati dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah".

Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Kira - kira peribahasa itu yang tepat mewakili sejarah kehidupan Mr. Syafrudin Prawiranegara. Karena keterlibatannya pada PRRI seolah semua jasa - jasanya dilupakan begitu saja oleh pemrintah. Padahal jika dilihat lebih jauh dari latar belakang berdirinya PRRI, sebenarnya kemunculan PRRI adalah bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah. PRRI sendiri ingin menjadikan Indonesia lebih baik. Hanya saja aktivitasnya mungkin termasuk kegiatan inkonstitusional. 

Untuk memulihkan kembali nama beserta jasa Mr. Syafrudin Prawiranegara bagi negara, maka pada 8 Nopember 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menentapkan Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

3. Brigjen KH. Syam'un



Tidak banyak sumber sejarah yang menulis tentang Brigjen KH. Syam'un. Bahkan konon katanya kepangkatan beliau sebagai Brigadir Jenderal (Brigjen) sendiri belum ditemukan dokumen pendukungnya. Yang ada baru pangkat kolonel. Terlepas dari pro kontra tersebut, berikut disajikan informasi umum tentang Brigjen KH. Sam'un.

Lahir di Kampung Beji Desa Bojonegara Kecamatan Cilegon, Kabupaten Serang, Kresidenan Banten pada 5 April 1894 dari pasangan H. Alwijan dan Hj. Siti Hadjar. KH Sam'un masih keturunan KH. Wasjid, yaitu tokoh pada peristiwa "Geger Cilegon" 1888 (perjuangan melawan Pemerintah Kolonial Belanda).

Pada tahun 1905 atau pada usinya yang ke 11, beliau belajar ke Mekah dan berguru di Masjid Al-Haram tempat ahli Ke-Islam-an terbaik didunia. Kemudian ia melanjutkan belajar Al-Azhar University, Kairo Mesir pda tahun (1910 - 1915).

Pada saat di kembali ke Indonesia, KH. Syam’un pernah bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), dan menjabat sebagai Dai Dan Tyo yang membawahi seluruh Dai Dan I PETA wilayah Serang. 

Selama menjadi Dai Dan Tyo KH. Syam’un sering mengajak anak buahnya untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan Jepang. Keterlibatan KH. Syam’un dalam dunia militer mengantarkannya menjadi pimpinan Brigade I Tirtayasa Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang kemudian berganti menjadi TNI Divisi Siliwangi.

KH. Syam'un juga pernah mendapat tugas berat dalam peristiwa Pertempuran Kebayoran (Oktober 1945). KH Syam'un ditunjuk menjadi panglima Divisi 1000/1 dengan pangkat kolonel. 

Tugasnya adalah membantu pejuang republik dari Bogoro dan Tangerang untuk menghancurkan konsentrasi NICA di wilayah Kebayoran. 

KH. Syam'un mengirim 160 orang personil dari wilayah Warung Gunung Lebak. Pasukan ini kemudian bergabung dengan pasukan TKR lain serta ribuan relawan untuk menghancurkan markas NICA yang dijaga lebih dari 400 personel. 

Pertempuran sengit pun terjadi pada 22 - 23 Oktober 1945 membuat puluhan tentara NICA tewas. Sementara dipihak republik satu orang tewas dan dua orang terluka.

Tugas lain yang berhasil diemban oleh KH. Syam'un adalah menumpas gerakan Dewan Rakyat pimpinan Che Mamat yang berusaha menggulingkan wakil pemerintahan RI di Banten. 

KH Syam'un menghancurkan markas gerakan ini yang berada di Ciomas Serang dan Rangkasbitung dengan menangkap para pemimpin serta melucuti pasukannya.

Selain aktif di kemiliteran, Brigjen Syam'un juga dikenal sebagai pendiri lembaga pendidikan Perguruan Tinggi Islam Al-Khairiyah di Citangkil, Cilegon pada 5 Mei 1925. Sampai hari ini, lembaga tersebut terus berkembang dan membentuk jaringan yang semakin meluas.

Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, KH. Syam'un diangkat menjadi Bupati Serang periode 1945-1949 menggantikan Raden Hilman Djajadiningrat. Perjuangan KH. Syamun sebagai Bupati Serang ditunjukan dalam mengatasi masalah pemerintahan di Banten Utara yang masyarakatnya mengalami kekurangan makanan. Penyakit malaria mengamuk dengan hebatnya. Begitu juga penyakit biri - biri. Masyarakat kekurangan makanan karena mereka tidak bisa bekerja dengan tubuh yang sakit. Dalam keadaan yang sulit berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut.

Pada saat Agresi Militer Belanda II Bupati KH. Syam’un terpaksa bergerilya dari Gunung Karang Kab. Pandeglang hingga kampung Kamasan Kecamatan Cinangka Kab. Serang. Daerah ini menjadi tempat tinggal salah satu gurunya KH. Jasim. Di Kampung ini juga, Brigjen KH. Syam’un meninggal pada 27 Februari 1949 karena sakit saat memimpin gerilya dari hutan sekitar Kamasan.

*dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment