Laman

Perlunya Pelatihan "Deteksi Sampah 101" Bagi Siswa

Perlunya Pelatihan "Deteksi Sampah 101" Bagi Siswa


Dampak virus corona begitu besar, semua aspek kehidupan terkena imbasnya. Tidak terkecuali dalam dunia pendidikan. Pembelajaran konvensional tatap muka di kelas mengalami revolusi menjadi pembelajaran berbasis teknologi informasi. Walau pembelajarn sperti ini masih mencari-cari bentuk atau bahkan masih menjadi perdebatan mengenai efektivitasnya, namun saat ini cuma itu pilihan paling logis yang bisa diambil. Dan tentunya, pro kontra masih terus berlanjut dengan argumen masing - masing.


Pembelajaran berbasis teknologi informasi dalam hal ini melalui jaringan internet atau dalam jaringan (daring) menggeser beberapa peran penting guru dalam pembelajaran terutama perannya sebagai salah satu sumber belajar. Saat ini guru melaksanakan perannya lebih banyak sebagai fasilitator (seharusnya begitu), namun tidak maksimal karena minim interaksi. 

Diharapkan pada masa pandemi seperti ini, orang tua mampu berperan menggantikan guru karena orang tua berinterkasi dengan siswa/anak secara langsung di rumah. Namun tentu saja ini tidak terlepas kendala baik secara teknis maupun non teknis. Sebut saja semisal orang tua yang sibuk bekerja atau jarang berinteraksi dengan anak nya di rumah, atau level pengetahuan yang masih rendah dibanding tahapan pembelajaran yang harus dilalui siswa, atau kesulitan dalam mencari rujukan sumber belajar dan lain sebagainya. Tentu ini menjadi masalah tersendiri pada pembelajaran daring saat ini. 

Fakta yang berkembang, tidak dapat dipungkiri, orang tua yang seharusnya memfasilitasi anak nya menyelesaikan suatu tugas, justru ia yang mengerjakan tugas tersebut sementara anak tidak mendapat penjelasan yang berarti atau tidak mengalami proses belajar tentang bagaimana menyelesaikan tugas tersebut.  Jadi bagaimana anak bisa mengalami kemajuan belajar jika tugas-tugas yang diberikan guru justru orang tua nya yang sibuk menyelesaikan? 

Dan jika kita amati di sosial media, cukup banyak keluhanan atau pernyataan orang tua bahwa yang sekolah itu orang tuanya bukan anaknya. Dan tentu saja ini sebuah kekeliruan. Namun hal ini tak dapat terhindarkan karena persepsi yang salah dari orang tua itu sendiri bahwa tugas harus selesai dengan sempurna agar nilai anak bagus dan anaknya bisa naik kelas atau lulus. Padahal seharusnya persepsi tersebut dirubah menjadi bagaimana agar anaknya tetap belajar walau tanpa tatap muka dikelas seperti biasanya karena situasi pandemi seperti ini.  

Terkait dengan rendahnya informasi atau pengetahuan yang dimiliki orang tua sebagai pendamping anak belajar di rumah, kadang pembelajaran menemui situasi buntu saat suatu pertanyaan atau permasalahan tak dapat diselesaikan. 

Solusi yang biasanya ditempuh selain memanfaatkan sumber belajar berupa buku (pastinya minim), atau bertanya kepada orang di sekitar yang lebih paham, adalah dengan cara mencari sumber belajar/rujukan melalui internet dalam hal ini memanfaatkan search engine seperti halnya google atau yahoo. 

Nah, permasalahan baru muncul terkait penggunaan internet tersebut mulai dari masalah teknis seperti ketiadaan kuota atau sarana akses ke jaringan internet dan juga permasalahan terkait bagaimana menggunakan internet dalam hal ini search engine secara efektif. 

Faktanya, informasi yang muncul dalam hasil pencarian tidak semuanya relevan dan bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Lebih jauh dari itu, jangankan siswa atau mahasiswa, kebanyakan orang dewasa pun sangat menggampangkan hasil pencarian internet dengan kecenderungan mengandalkan materi atau informasi yang muncul pada daftar paling atas sebagai informasi yanh sangat valid tanpa menguji kredibilitasnya. Disinilah perlu adanya pelatihan deteksi "Sampah 101" yaitu sebuah istilah yang dipopulerkan Howard Rheingold, seorang kritikus internet terutama bagi siswa atau mahasiswa pun bisa jadi pada orang dewasa. 

Terkait pembelajaran selama pandemi ini yang memanfaatkan teknologi informasi daring, maka menjadi sangat mendesak terutama siswa atau mahasiswa sekalipun untuk bisa memperoleh keterampilan bagaimana ia mendeteksi sampah-sampah informasi yang tersebar di internet dan memilih informasi yang paling valid. 

Siapa yang paling bertanggungjawab untuk memberikan pelatihan "deteksi sampah 101"? Kita semua yang peduli terhadap pendidikan anak-anak kita tentu bertanggungjawab memberikan pelatihan deteksi sampah informasi tersebut. 

Jangan membayangkan sebuah pelatihan formal yang dirancang khusus untuk itu, tapi lebih ke pada bagaimana siswa atau mahasiswa sekalipun memahami bahwa semua informasi yang tersedia di internet walau itu muncul dalam daftar teratas belum tentu semuanya benar.

Berikut akan coba kita gambarkan bagaimana agar siswa mampu membedakan informasi valid atau tidak valid dalam pencariannya di internet.

1. Pastikan alamat atau url situs yang kita akses telah diakui kredibilitasnya secara umum, semisal situs pemerintahan yang berakhiran go.id akan sedikit kemungkinan memberikan informasi yang tidak valid (kecuali untuk kepentingan politik) atau situs - situs berita seperti bbc, cnn, kompas dll; situs pengetahuan seperti national geographic; situs kependudukan seperti bps, worldatlas, worldometers; situs pengetahuan umum seperti wikipedia dan masih banyak lainnya. Pengalaman kita berselancar dengan internet akan dengan mudah menentukan situs mana yang kredibel atau bukan, dan siswa harus diberitahu tentang ini. 

2. Walau banyak situs kredibel adalah situs-situs populer yang dipercaya secara umum, namun tidak semua situs yang tidak populer memberikan informasi yang salah. Banyak juga situs-situs gratisan berbasis blog menyajikan informasi yang valid dan bisa dijadikan rujukan sumber belajar. Biasanya situs tetsebut akan melampirkan rujukan/ daftar pustaka dari mana materi itu di ambil. Disini perlu kejelian untuk memilih informasi yang sesuai dengan kurikulum di sekolah dengan keterampilan menyeleksi dan menghubungkan informasi tersebut.

3. Jangan malas untuk melakukan penelusuran  ke daftar lebih dalam untuk menemukan informasi yang valid. Dan rupanya ini menjadi masalah serius karena kebanyakan kita menganggap bahwa daftar paling atas itu adalah informasi yang paling valid. Keengganan kita menelusur lebih dalam jutaan informasi tersembunyi yang lebih valid tampaknya sudah menjadi penyakit kronis pada sebagian besar dari siswa pun orang dewasa.

4. Jika ada satu situs yang menyatakan bahwa Indonesia terdiri dari 27 propinsi, sementara situs lain menyatakan 34 propinsi, situs mana yang akan kita percaya. Atau sebuah situs menyatakan bahwa penduduk Indonesia 230 juta, sementara situs lain menyatakan 260 juta, mana yang akan kita percaya? Dalam hal ini kita harus menyadari bahwa informasi tertentu akan bersifat dinamis tergantung kapan informasi tersebut disajikan. Waktu penjadi faktor penting dalam melihat validitas sebuah informasi karena beberapa informasi tertentu akan menjadi usang seiring berjalannya waktu semisal informasi tentang jumlah penduduk. Jumlah penduduk tahun 2015 misalnya, pasti akan berbeda dengan jumlah penduduk tahun 2020. Maka dalam melakukan penelusuran informasi perhatikan juga kapan informasi itu diterbitkan.

5. Berhati - hati jika menemukan tulisan yang disusun secara sistematis, logis seolah masuk akal, namun faktanya menyesatkan. Semisal orang percaya dengan astrologi, padahal hal tersebut hanya sebuah ilusi atau pseudosains. Terkait pembelajaran di sekolah, materi yang disusun pemerintah untuk dipelajari tentu dengan pertimbangan banyak hal termasuk psikologi sosial dan menghindari isu sara termasuk juga kepentingan pemerintah dalam membentuk masyarakat yang patuh. Namun tulisan di internet, semua pertimbangan tersebut mungkin tak lagi digunakan terlebih mereka yang menyebut dirinya anonim. Tidak ada pertanggungjawaban sosial bagi mereka yang menyebarkan pemahaman dari sudut pandang mereka sekalipun menyajikan sebuah informasi yang salah dan dibungkus dalam gaya tulisan yang logis. Celaka jika ternyata siswa memaknai informasi yang diterima tersebut sebagai bagian dari ilmu pengetahuan dengan kebenaran absolut. Lalu bagaimana seharusnya? Dalam hal ini, siswa atau mahasiswa harus bisa membaca pola-pola umum pengetahuan dan tentu informasi yang ia terima tidak bersifat khusus atau berbeda atau bertentangan dengan informasi yang diterima secara umum. Jika informasi atau pengetahuan tersebut diterima secara umum, bisa jadi itu informasi yang benar sekalipun tidak selalu demikian faktanya.

6. Keterampilan deteksi sampah 101 bisa jadi berkorelasi dengan sikap skeptis atas informasi yang diterima. Kita tidak boleh mudah percaya atas informasi yang diterima dan berhati - hati dengan melakukan penyelidikan lebih dalam atas informasi tersebut dan membandingkannya pada sumber yang berbeda. Sampai pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa informasi tersebut valid. Dalam hal ini perlu dibiasakan atau ditumbuhkan cara pandang skeptis pada siswa ketika menerima informasi apapun sebelum ia melihat buktinya.

Keterampilan deteksi sampah 101 di internet akan tumbuh jika dilatih secara terus menerus. Kita sebagai orang dewasa yang berada dilingkungan anak atau siswa harus bisa membimbing mereka agar keterampilan tersebut ada pada mereka. Pertanyaannya selanjutnya adalah apakah kita sendiri sudah memiliki keterampilan deteksi sampah 101 atau justru kita bagian dari pengkonsumsi sampah informasi?? Semoga kita sudah memiliki keterampilan itu dan bisa menularkannya pada anak atau siswa kita.*

No comments:

Post a Comment