Lebih senang melihat orang lebih sukses atau lebih susah? Lebih suka orang dengan kemampuan di atas kita atau di bawah kita?
Coba beri jawaban jujur atas dua pertanyaan di atas.
Jika anda lebih senang melihat orang lebih susah dari anda atau lebih menyukai orang dengan kemampuan dibawah anda, itu hal yang wajar.
Dalam psikologi hal ini dikenal dengan teori perbandingan. Kita akan merasa senang atau suka pada seseorang dengan kriteria dibawah kita. Baik dari sisi kinerja, penampilan, dan lain sebagainya.
Akan tetapi kita akan menjaga jarak dengan mereka yang memiliki kemampuan atau kinerja di atas kita.
Mungkin kita sering juga mendengar kalimat "senang melihat orang susah, susah melihat orang senang". Ya, ini pun bagian dari teori perbandingan.
Mengapa demikian?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita coba identifikasi mengapa kita senang amembandingkan diri kita dengan orang lain.
Menurut Festinger dengan Teori Perbandingan Sosialnya (Robert & Nyla, 2015:149), ia menyatakan bahwa kita membandingkan diri dengan orang lain karena untuk domain atau atribut tertentu, tidak ada patokan yang objektif.
Membandingkan diri dengan orang lain merupakan cara kita mengevaluasi diri untuk memberikan penilaian apakah kita lebih baik atau buruk berdasarkan standar yang ada pada orang lain.
Dengan siapa membandingkan dan bagaimana kita melakukan perbandingan itu bergantung motif yang ada.
Secara umum, keinginan untuk melihat diri sendiri secara positif (lebih baik) lebih kuat dibanding melakukan penilaian diri secara akurat.
Itulah mengapa kita lebih senang atau suka melihat orang berada dibawah level kita karena dapat memandang diri kita lebih positif dibanding orang lain.
Sebagai ilustrasi, siswa yang memiliki nilai B tidak terlalu suka membandingkan dirinya dengan siswa yang selalu mendapat nilai A. Tapi mungkin ia akan lebih suka dibandingkan dengan siswa lain yang lebih sering mendapat nilai C.
Demikian pula dalam hal bergaul, ia mungkin akan menjaga jarak dengan peraih nilai A, dan suka bergaul dengan peraih nilai C karena ia memiliki penilaian positif atas dirinya.
Teori perbandingan sosial ini jika digunakan dengan tepat akan lebih meningkatkan rasa bersyukur kita pada Tuhan jika dikaitkan dalam konteks beragama.
Mungkin sering kita mendengar ustad berkata untuk urusan dunia kita harus membandingkan dengan mereka yang berada dibawah kita. Tetapi untuk urusan akhirat kita harus melihat yang di atas kita.
Maksudnya saat membandingkan dengan orang yang memiliki atribut atau keadaan dibawah diri kita, akan muncul persepsi positif dalam memandang diri dan diharapkan semakin meningkatnya rasa syukur pada Tuhan.
Sebaliknya saat melihat orang yang lebih baik dalam urusan akhirat, persepsi pada diri menjadi rendah sehingga termotivasi mencapai apa yang sudah dicapai orang lain.
Walaupun secara umum kita lebih senang atau suka dengan orang yang memiliki atribut atau kinerja dibawah kita, namun tidak demikian jika kita menjadi bagian sebuah komunitas.
Sebagai contoh, siswa akan menyukai siswa lain yang menjadi juara perlombaan antar sekolah mewakili nama sekolah di mana ia belajar. Identitas sekolah inilah yang dibandingkan dengan identitas sekolah lain sehingga perbandingan individu siswa peraih kejuaraan dan dirinya diabaikan.
Tapi saat melakukan perbandingan secara personal mungkin siswa tersebut mulai tidak menyukai siswa juara lomba karena ia memandang diri negatif dibanding siswa tersebut.
Jadi, apakah kita juga lebih senang melihat orang dengan kemampuan di atas kita atau lebih senang pada mereka dengan kemampuan di bawah kita??
Ref :
Robert & Nyla. 2015. Psikologi Sosial. Jakarta : Penerbit Erlangga
mari kita bantu mereka yg sdg mengalami kesusasahan atau kesulitan
ReplyDeleteSiap Omjay...terima kasih sudah berkunjung
Delete