Laman

Sejarah Pembentukan Provinsi Banten (Bagian I)



Berikut ini merupakan tulisan tentang Sejarah Pembentukan Provinsi Banten yang diambil dari situs resmi Biro Umum Provinsi Banten (biroumum.bantenprov.go.id)

Tulisan ini sepenuhnya hasil copy paste situs tersebut dengan sedikit perubahan pada format paragraf dan beberapa perbaikan minor semisal untuk tulisan typo.

Silahkan baca tulisan dibawah ini untuk mengetahui sejarah berdirinya Provinsi Banten.

Selamat membaca!


Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dimunculkan keinginan masyarakat Banten untuk meningkatkan status wilayahnya dari Karesidenan menjadi provinsi sendiri yang terpisah dari Jawa Barat. 

Keinginan ini muncul berkaitan dengan diberikannya status Daerah Istimewa Yogyakarta dan munculnya tuntutan yang sama dari Aceh. Masyarakat Banten merasa bahwa Banten juga memiliki keistimewaan, yaitu tidak pernah menyerah kepada Belanda, pernah berdiri sendiri karena diblokade Belanda sampai mengeluarkan mata uang sendiri pada tahun 1949 ( Michrob dan Chudari, 1993 : 284). Hanya saja keinginan ini tidak dapat tanggapan serius. 

Dengan diberlakukannya Demokrasi Terpimpin dan dibentuknya pemerintah dan parlemen baru di tingkat pusat, kehidupan politik di Jawa Barat pun disesuaikan dengan kehidupan politik di tingkat pusat .

Dalam bidang pemerintahan, dibentuk lembaga pemerintahan baru yang sisesuaikan dengan konsep Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu, di Jawa Barat dikenal dua macam pemerintahan daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/ kotamadya . 

Kedua macam pemerintahan daerah itu adalah Pemerintahan Daerah Gaya Baru dan Pemerintahan daerah Gotong Royong ( Pikiran Rakjat, 28 Maret 1960). Pemerintahan Daerah Gaya Baru dibentuk atas dasar Penpres No.6 tahun 1959 yang berlangsung dari tanggal 20 Oktober 1959 sampai tanggal 10 Desember 1960. Pemerintahan Daerah ini tersususn atas badan eksekutif dan legislatif. 

Badan eksekutif terdiri dari gubernur yang di bantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH). Menurut ketentuannya, gubernur dibantu oleh enam orang anggota BPH, tetapi sampai akhir Pemerintahan Daerah gaya Baru anggota BHP hanya tiga orang, yaitu satu orang wakil dari Partai Komunis Indonesia (PKI), satu orang wakil dari Nahdlatul Ulama (NU), dan satu orang wakil dari Murba. Dua orang wakil dari Masyumi dan satu orang wakil dari PNI menolak untuk diangkat sebagai anggota BPH karena mereka tidak dapat melepaskan keanggotaan dari partainya masing-masing. 

Disamping itu, selain sebagai kepala daerah, gubernur juga bertindak sebagai Ketua Badan Legislatif (Ketua DPRD Gaya baru) . DPRD gaya Baru beranggotakan 75 orang yang tersusun dari partai-partai politik dan golongan fungsional (Suwardi dan Djayasoempena,1965:14-15). 

Setelah pembentukan DPR Gotong royong di tingkat pusat, di Jawa Barat pun terjadi perubahan dalam pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah Gaya Baru diganti dengan Pemerintahan daerah Gotong-Royong dibentuk atas dasar Penpres No.5 tahun 1960. Bentuk pemerintahan tersebut berlangsung sejak tanggal 10 Desember 1960 dan tersusun atas Badan Eksekutif dan Badan Legislatif. Badan Eksekutif terdiri atas Gubernur dengan dibantu oleh Anggota Badan Pemerintahan harian (BPH). Badan Legislatif adalah DPRD Gotong Royong dengan Gubernur sebagai Ketua. Berdasarkan ketentuan, DPRD Gotong Royong terdiri dari 75 kursi, namun tiga kursi tidak diisi karena partai-partai politik yang akan memduduki tiga kursi tidak diakui oleh pemerintah, sehingga jumlahnya hanya 72 orang. 

Ketiga partai politik yang kemudian tidak diakui oleh pemerintah itu adalah PRIM, PRN, dan Partai Buruh. Komposisi anggota DPRD Gotong Royong terdiri dari wakil partai politik dan wakil golongan karya (Suwandi dan Djajasoempoena,1965:15-16). 

Pada tahun 1963, Bupati Serang Gogo Sandjadirdja, mengadakan acara halal bilhalal dengan tokoh-tokoh masyarakat Banten di Pendopo Kabupaten Serang. tokoh-tokoh yang datang bukan hanya dari Banten, tetapi juga dari daerah Jasinga-Bogor. Setelah acara halal-bilhalal usai, dilanjutkan dengan rapat. 

Dalam rapat itulah untuk pertama kalinya dicetuskan gagasan tentang perlunya keresidenan Banten menjadi propinsi sendiri. Gagasan itu kemudian diwujudkan dengan membentuk panitia “Pembentukan Propinsi Banten (PPB). Panitia ini diketuai oleh Bupati Serang sendiri dengan pengurus yang mewakili partai-partai yang ada. Pada mulanya, unsur partai Komunis Indonesia (PKI) tidak bersedia ikut, tetapi karena poros nasakom (Nasional, agama, komunis) dijadikan acuan politik nasional, Panitia Propinsi Banten menawarkan unsur PKI untuk duduk dalam kepanitiaan. 

Akhirnya terbentuk Panitia Propinsi Banten dengan susunan sebagai berikut : 

Ketua : Gogo Sandjadirdja (PSII) 

Wakil Ketua : Ayip Djuhri (NU/Front Nasional), Entol masyur (PNI/Front Nasional), Sukra (PKI/Front Nasional). 

Anggota : M. Sanusi (PSII/Front Nasional), Toha (PKI/Anggota DPR-GR Serang), Tb. Suhari Chatib (PSII) (Qorny dalam Mansur, 2001:88). 

Panitia ini kemudian mengadakan rapat akbar di Alun-alun Serang, ternyata gagasan untuk membentuk Propinsi Banten mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat.

Hal itu dapat dipahami karena pada waktu itu posisi politisi sipil masih kuat, maka dalam waktu yang relatif singkat gerakan ini secara horisontal mendapat dukungan luas baik dari kalangan ormas, dan juga dukungan vertikal dari kalangan eksekutif dan legislatif se-wilayah Banten. 

Pada tahun 1964, panitia ini menemui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Mendagri menyatakan bahwa masyarakat Banten tidak perlu menuntut agar Banten menjadi Propinsi karena sudah ada pemikiran dari Pemerintah Pusat yang ingin memeberikan sesuatu kepada rakyat Banten. 

Pemerintah Pusat merasa berhutang budi pada rakyat Banten yang telah berjasa bukan saja pada tahun 1945 tetapi sebelumnya Banten telah bergerak menentang penjajah Belanda. Hanya, menurut Mendagri perlu sabar menunggu kesepakatan dengan DCI (Daerah Chusus Ibukota) Jakarta yang merencanakan perluasan hingga Kabupaten Tangerang (Qorny dalam Mansur 2001:88). 

Gentur Mu’min, mantan wartawan Harian Duta Masyarakat yang terbit di Jakarta antara tahun 1964-1971, menceritakan bahwa sebenarnya pada tahun 1965 itu Banten “hampir resmi menjadi Propinsi”. Namun, karena terjadi peristiwa G-30-S, hal itu tidak terlaksana. Ia menjelaskan bahwa panitia Propinsi banten telah mengadakan pertemuan dengan tim DPR-GR-RI, yang tidak diingat lagi oleh sumber tersebut tanggal dan harinya, hanya disebutkan pertemuan itu terjadi tahun 1965, bertempat di rumah H. Tb. Kaking (bendahara Panitia Propinsi Banten). Hadir dalam pertemuan tersebut adalah H. M. Gogo Rafiudin Sandjadirdja (Bupati Serang saati itu), H. Ayip Dzuhri (Anggota DPR-GR RI), dan beberapa tokoh masyarakat Banten, yang datang dari Jakarta dan Bandung. selanjutnya tim dari DPR- GR- RI itu ber-kunjung ke Jambi, Bengkulu, dan Lampung, yang sama seperti Banten, ingin memisahkan diri dari Propinsi induknya untuk menjadi Propinsi sendiri. 

Selanjutnya wartawan yang sudah sepuh itu, menjelaskan bahwa Mendagri Mayjen Sumarno sudah menyiapkan RUU Propinsi unruk daerah yang ingin menjadi Propinsi sendiri tersebut dan telah masuk ke DPR-GR-RI. Menurut H. Gentur Mu’min itu, berarti tidak lama lagi tempat daerah itu akan menjadi Propinsi sendiri (Mansur, 2001:101-102). 

Perkembangan gerakan yang tampaknya bakal berhasil itu dilihat oleh PKI sebagai peluang. DN. Aidit sebagai Ketua CC.PKI segera membentuk CDB (Central Distric Buerau). Organ setingkat Propinsi CDB PKI Propinsi Banten pimpinan Dachlan Rifa’i yang belakangan membentuk Dewan Revolusi Banten (Pola PKI). 

Namun, roda sejarah berbicara lain. Maksud DN. Aidiit tidak kesampaian di Banten, karena kemudian meletus peristiwa G-30-S. Markas CDB PKI pun hancur diamuk massa KAPPI dan KAMMI Konsulat Serang (keterangan H.Gentur Mu’min dalam Mansur, 2001:103). 

Pasca pembubaran PKI, Soeharto kemudian berupaya menata langkah-langkah lain yang memungkinkan tecapainya secara optimal “pasal-pasal” Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) serta tugas yang terkandung dalam Supersemar. Untuk itu, Soeharto kemudian melakukan aksi pembersihan terhadap orang-orang yang selama ini diduga terlibat atau mendukung G30SPKI, khusus-nya mereka yang ada di dalam Birokrasi Pemerintahan baik sipil maupun militer (Pusponegoero dan Notosusanto, 19939:414). 

Panitia Pembentukan Propinsi Banten yang telah dibentuk sejak tahun 1963, tidak luput dari usaha membersihkan dari dari Komunis. Maka unsur-unsur PKI pun dibubarkan dari panitia. Namun pihak yang berwenang agaknya tetap menaruh kecurigaan bahwa panitia telah ditunggangi PKI. 

Tuduhan itu tentu saja membuat panitia goyah, apalagi Pemerintah Pusat melalui Kop-Kamtib dan Laksus-nya berusaha melakukan pembersihan terus menerus. Oleh karena itu, panitia memilih untuk tidak aktif sementara. 

Meskipun demikian, panitia menyatakan secara tegas bahwa tidak benar panitia ditunggangi PKI dan menganggap bahwa hal itu merupakan fitnah yang sengaja ditiup-tiupkan oleh pihak-pihak yang tidak senang atas kemajuan Banten (H. Gentur Mu’min dalam Masnur, 2001:102-103).


No comments:

Post a Comment