Laman

Sejarah Pembentukan Provinsi Banten (Bagian 5)

Sosialisasi untuk mendirikan Provinsi Banten terus digulirkan melalui berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Dalam berita-berita itu diungkapkan bahwa usaha untuk mendirikan Provinsi Banten sebenarnya sudah dimulai tahun 1953. 

Respons dan antusiasme berbagai kalangan masyarakat terhadap ide PPB telah mendorong beberapa tokoh elite untuk mengkonsolidasikan diri secara lebih teratur, sistematis dan teroganisasi. 

Sementara itu, gagasan tentang PPB bergulir terus. Masih pada bulan Agustus 1999 dibentuklah Badan Pekerja Komite PPB di Kampung Pari, Kecamatan Mandalawangi. badan ini bertugas menyusun kepengurusan di tiap Kabupaten. Pada waktu itu disusun Pengurus Sub Komite- PPB (SK-PPB) Kabupaten Pandeglang dengan Ketua Aceng Ishak. Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 28 Agustus 1999 diadakan pertemuan di Pondok Kharisma Labuan dan menghasilkan Forum Silaturahmi Warga Pandeglang yang akan memperkuat perjuangan SK-PPB Pandeglang.

Selanjutnya pada tanggal 11 September 1999, di Gedung Graha Pancasila Pandeglang, SK-PPB Pandeglang dideklarasikan sekaligus pelantikan Pengurus Fosgalang. Organisasi ini diketuai oleh H. Djadjat Mudjahidin, Wakil Ketua K.H. Aminuddin Ibrahim, dengan Ketua Dewan Penasehat H.M. Zein, mantan Bupati Pandeglang, dalam acara itu SK-PPB Pandeglang mengeluarkan pernyataan sikap yang isinya antara lain mendesak kepada Pemda dan DPRD Pandeglang untuk segera memproses pendirian Provinsi Banten (Mansur, 2001:144-145). 

Aktivitas di Pandeglang ini sangat menarik terutama kemudian dikaitkan dengan pernyataan seorang tokoh yang bersifat legitimasi historis. Ia menyatakan bahwa kakeknya pernah berpesan bahwa bila ingin mewujudkan Provinsi Banten, kalau mau berhasil harus dimulai dari Pandeglang, di tutugan Pulosari. Oleh karena itu, ketika diadakan pertemuan di kampung Pari, ia merasa yakin akan berhasil, karena Tutugan Pulosari adalah bekas Kerajaan Salakanagara dahulu (Mansur,2001:145)

Hal ini menarik karena pernyataan dibuat setelah Provinsi Banten berdiri, atau pernyataan bersifat post-eventum. Pada tanggal 20 September 1999, pengurus SK-PPB Bandung Raya dibentuk, dengan Ketua : H. Muslim Djamaludin, Sekretaris Tb. Kun Maulawarman, pada saat yang sama dibentuk pula SK-PPB di Kabupaten Serang dengan Ketua: Achmad Sudirdja.

Menyikapi apa yang tengah terjadi di Banten, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat mulai memperhatikan sikap karena kalau Banten berdiri sendiri, itu berarti sebagian Pendapatan Asli Daerah (PAD) hilang, belum lagi dampak lainnya. 

Rombongan unsur-unsur masyarakat Banten berupaya datang ke Gedung Sate untuk menyampaikan aspirasi mereka. Misalnya pada tanggal 4 Oktober 1999, Forban (Forum Pergerakan Banten) yang terdiri dari beberapa unsur organisasi mahasiswa kedaerahan yang berdomisli di Bandung antara lain Kumandang (keluarga Mahasiswa Pandeglang), Kumala (Keluarga Mahasiswa Lebak), KMC (Keluarga Mahasiswa Cilegon), IMB (Ikatan Mahasiswa Banten), KMB (Keluarga Mahasiswa Banten), IKMB (Ikatan Keluarga Mahasiswa Banten), dan Kamayasa (Keluarga Besar Mahasiswa Tirtayasa), salah satu Presidiumnya adalah Saefudi, dan sebagai kordinator divisi aksi yaitu Iwan Ridwan, datang untuk berdialog dengan Gubernur Jawa Barat pada tanggal 29 Oktober 1999.

Gubernur Jawa Barat H.R. Nuriana menyerahkan bantuan dari Yayasan “Saung Kadeudeuh” untuk masyarakat Banten, berupa bantuan uang muka rumah RSS bagi 156 karyawan golongan I dan II di Kabupaten Lebak, sebesar 218,4 juta.

Dalam kesempatan itu, Gubernur mempertanyakan apakah keinginan untuk mendirikan Provinsi Banten itu merupakan keinginan segelintir elite atau memang keinginan rakyat. Gubernur menyarankan agar diadakan referendum. Secara diplomatis Gubernur menyatakan bahwa ia tidak akan menghalang-halangi PPB, sepanjang itu dilakukan secara demokratis dan konstitusional (Pikiran Rakyat, 30 Oktober 1999). 

Sebagai kelanjutan berdirinya KPPB, pada tanggal 2 November 1999 dibentuk Pengurus Sub Komite Pembentukan Provinsi Banten (SK-PPB) di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, yang diketuai oleh H. Tamin HR dan pada hari yang sama dibentuk pula Pengurus SK-PPB di Cilegon yang diketuai oleh H. Zaidan Riva’i (Ketua DPRD Cilegon) (Supandri, 2002:47). 

Dalam perjalanan waktu yang relatif cepat, ada dua organisasi PPB yang besar yaitu KPPB yang telah berdiri tanggal 18 Juli 1999 dan Pokja-PPB yang berdiri tanggal 1 Agustus 1999. Ketua kedua organisasi ini sama-sama berasal dari Rangkasbitung dan umur organisasi keduanya hanya terpaut dua minggu saja. Namun tampaknya ada ketidakcocokan di antara kedua ketuanya. 

Meskipun sudah ada upaya untuk mencari wadah koordinasi untuk mempersatukan KPPB dan Pokja-PPB, agaknya tindakan Pokja-PPB dibalas oleh KPPB. 

Pada tanggal 6-7 November 1999 dilangsungkan Rapat Koordinasi (Rakor) KPPB yang dilaksanakan di Islamic Center, Serang dalam Rakor ini POkja-PPB tidak diundang. Rakor ini dihadiri oleh perwakilan dari empat Kabupaten dan dua Kota di Banten. Kegiatan ini dilanjutkan dengan pertemuan pada tanggal 20-24 November 1999 di Pondok Kharisma Labuan, yang menghasilkan pokok-pokok pikiran setebal 10 halaman, yang dirumuskan oleh Tim Sembilan yaitu Uwes Qorny, Eutik Suwarta, Aceng Ishak, H.E. Tjutju Suryalaga, Agus Aan Heryana, Yayat Hasrat Triana, Dede Biul, H. Djadjat Mudjahidin, dan K.H. Djunaedi. 

Pokok-pokok pikiran yang disebut “Buku Biru” itu disampaikan kepada DPRD se-Wilayah Keresidenan Banten, DPRD Jawa Barat, Gubernur Jawa Barat, DPR-RI, dan Presiden Abdurahman Wahid (Mansur,2001:162-173). 

Perseteruan antara Pokja-PPB dengan KPPB meletup pada tanggal 27 November 1999, Tim Pokja PPB mengadakan pertemuan di Rumah Makan Sari Kuring Cilegon. Dalam acara itu diundang para Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan tokoh-tokoh masyarakat, seperti Ekky Syahruddin, SE (anggota DPR-RI), H. Tubagus Farich Nahril, H. Tubagus Chasan Sochib dan lain-lain. Sementara, pengurus KPPB tidak diundang secara tertulis. 

Namun atas saran H. Tubagus Chasan Sochib, pengurus KPPB diminta hadir. Ternyata dalam pertemuan itu, para tokoh KPPB hanya menjadi penonton sehingga suasana pertemuan menjadi tegang. Ekky Syahruddin yang menjadi pemandu acara berusaha mengharmonisasikan suasana dengan meminta Iwa Tuskana wakil KPPB untuk angkat bicara. 

Ketika berbicara itulah terdengar gelas pecah-pecah. Meskipun Ekky berusaha keras mengatasi situasi, para pengurus KPPB akhirnya meninggalkan acara sebelum pertemuan usai (Mansur,2001 155, juga wawancara dengan H.Tb.Farich Nahril pada tanggal 19 Agustus 2003). 

Pada malam itu diumumkan juga dana perjuangan yang berhasil dikumpulkan dari para Bupati, Walikota, dan para tokoh Banten. Melihat sikap masyarakat Banten yang begitu antusias dengan PPB, wakil-wakil rakyat di Dewan tingkat Kabupaten-Kabupaten Keresidenan Banten cepat tanggap dengan aspirasi yang berkembang di kalangan masyarakat. 

Pada tanggal 2 Desember 1999, DPRD Tk.II Serang memberikan Keputusan untuk menyetujui Pembentukan Provinsi Banten. Isu tentang Provinsi Banten terus bergema, para tokoh Banten berusaha mendapatkan dukungan dari Mendagri. Kelompok Jakarta dan para tokoh Banten lainnya mendapat kesempatan untuk bertemu Mendagri Suryadi Sudirdja, setelah Menteri meresmikan pameran di Hotel Bidakara, Jakarta pada tanggal 3 Desember 1999. dalam pertemuan yang dilakukan di Restourant Hotel tersebut, para tokoh Banten yang hadir adalah Tb. Farich Nahril, H. Mardini. H. Uwes Qorny, H. Irsyad Duwaeli, Aly Yahya, H.M.I. Tihami, dan H.Tb.Chasan Sochib. Mendagri memberikan saran bila rakyat Banten memang sudah bulat. H. Tb. Farich Nahril, masih ada hubungan keluarga dngan Ekky Syahruddin, yang sengaja datang dalam pertemuan itu, atas undangan Aenk Haerudin, anggota KAHMI yang menjadi pengurus Pokja-PPB. Namun, ia meninggalkan pertemuan sebelum acara selesai setelah melihat situasi yang diwarnai ketegangan antara KPPB dan Pokja-PPB.

Pada tanggal 5 Desember 1999, KPPB menggelar rapat akbar di Mesjid alun-alun Agung Banten Lama dengan tema “Melalui Munas Pembentukan Provinsi Banten Kita Tingkatkan Kesejahteraan Perekonomian Rakyat” . 

Dalam kesempatan itu Aceng Ishak membacakan “Deklarasi Nasional Pembentukan Provinsi Banten”. Dalam acara deklarasi, yang dihadiri Uwes Qorny dan tokoh-tokoh KPPB ini, juga berhasil dikumpulkan ribuan tanda tangan masyarakat yang hadir di alun-alun, di atas kain spanduk sepanjang 25 meter.

Teks Deklarasi yang dirancang oleh Tim KPPB itu berbunyi sebagai berikut : “Kami rakyat Banten dengan ini menyatakan bahwa Propinsi Daerah Tingkat I Banten sudah saatnya dibentuk. Hal-hal yang menyangkut legalisasi hendaknya diselenggarakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam tempo secepat-cepatnya. Semoga Allah SWT. meridhoi perjuangan kami. Amien (Mansur,2001:174).

Dalam rekomendasi KPPB disebutkan bahwa KPPB adalah satu-satunya wadah masyarakat Banten untuk memperjuangkan Propinsi Banten. Mungkin hal ini bisa dianggap sebagai tindakan mengesampingkan Pokja-PPB yang diketuai K.H. Irsyad Djuwaeli atau menunjukan bahwa ada ketidakcocokan antara Pokja-PPB dengan KPPB, terutama menyangkut ketua umum kedua organisasi ini. 

Menurut beberapa sumber kedua organisasi ini memang berkompetisi untuk mendapat pengakuan sebagai satu-satunya wadah untuk memperjuangkan Propinsi BAnten (Mansur,2001:147-148, juga wawancara dengan Tb.Farich Nahril,19 Agustus 2003, dan keterangan tertulis H.Mardini, 11 September 2003). 

Selanjutnya pada tanggal 7 Desember 1999, DPRD Tingkat II Lebak mengeluarkan surat keputusan persetujuan untuk PPB, diikuti kemudian pada tanggal 13 Desember 1999 oleh DPRD kabupaten Serang. Sehari kemudian, tanggal 14 Desember DPRD Kota Cilegon menyampaikan keputusan yang sama. Surat-surat keputusan ini tentu saja ditembuskan ke DPRD Jawa Barat dan DPR RI Jakarta, sebagaimana juga surat keputusan dari DPRD Tk II Pandeglang.


Pada tanggal 16 Desember 1999, rombongan ulama dan tokoh masyarakat Banten baik formal maupun informal datang untuk menyampaikan aspirasi mereka ke Gedung Sate. 

Selanjutnya, pada tanggal 20 Desember 1999, DPR RI mengadakan kunjungan kerja ke Bandung dan mempertanyakan masalah ini kepada Gubernur Jabar. Dalam kesempat itu, Gubernur menjelaskan bahwa peluang PPB cukup terbuka, asalkan keinginan itu merupakan keinginan masyarakat Banten yang diproses secara demokratis dan konstitusional, dan secara politis disetujui oleh DPRD setiap kabupaten/ kotamadya. 

Pada tanggal 9 Januari 2000 diselenggarakan aacara memperingati Haul Sultan Maulana Hasanudin di kediaman K.H. Tb. A Sadzili Wasi, pimpinan Pondik Pesantren Al-Qur’aniyah Banten yang berada dalam kompleks Masjid Agung Serang. Dalam kesempat itu, Akbar Tanjung yang hadir selaku Ketua DPR-RI menyatakan dukungan atas pembentukan Propinsi Banten. Sementara itu DPRD Tingkat II Banten yang telah menyetujui PPB adalah Serang, Pandeglang, Rangkasbitung, dan Lebak. Tangerang saat itu masih belum memberikan persetujuannya ( Mansur, 2001:183).

No comments:

Post a Comment