Laman

Sejarah Pembentukan Provinsi Banten (Bagian 6)

Selanjutnya di Bandung, ketika Ketua DPR RI sudah menyatakan sikap mendukung PPB, DPRD Propinsi Jawa Barat pun akhirnya menyetujui untuk dibentuknya Undang-undang PPB. Namun, Gubernur Jawa Barat tidak begitu saja menyetujui. 

Pemda Propinsi Jabar, pada awal Januari 2000 meminta kepada Bappeda Jabar untuk mengadakan studi kelayakan bakal Propinsi Banetn. Bappeda Jabar meminta Kusnaka Adimihardja, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, Yudistira Garna, Guru Besar Antropologi Ahli Baduy dari Universitas Padjadjaran, dan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, untuk membuat kajian sosial budaya dan sejarah Banten. 

Sebagai akademisi, ketiga pakar membuat kajian obyektif sesuai bidang masing-masing. Isu PBB terus bergulir dalam berbagai temuan formal maupun informal seperti pengajian, training pengkaderan aktivitas, dalam seminar, diskusi serta pertemuan para ulama dan berbagai kalangan lain. 

Dalam berbagai kegiatan ini pengembangan semangat korps, solidaritas, dan perasaan senasib sepenanggungan menjadi sesuatu yang penting. Perasaan ini dikembangkan para tokoh Banten dengan mengekspos isu etnisitas bahwa Banten itu berada dengan periangan. Secar historis Banten mempunyai jalan sejarahnya sendiri yang berbeda denag sejarah Priangan yang sempat dijajah Mataram.

Sementara Banten sempat berjaya dengan kesultanannya. Bahkan sejak lama Banten dan Periangan itu berhadapan baik secara langsung aupun tidak langsung. Pada zaman kolonial para pamong praja Priangan dianggap sebagai kaki tangan Belanda. Seperti telah dikemukakan bahwa dalam gerakan sosial yang mewabah di Banten pada abad ke-19, yang dijadikan sasaran adalah para pejabat kolonial dan pamong praja. 

Dan permusuhan ini berlanjut sampai zaman kemerdekaan sengan terjadinya pengusiran birokrat Priangan oleh kaum revolusioner Banten. 

Pada zaman Orde Baru malah Banten merasa dijajah kembali para birokrat Priangan yang menjadi para bupati dan pejabat. Dengan format dan struktur poltik yang bersifat sentralistis, penempatan pejabat-pejabat penting di daerah seperti bupati dan walikota sangat ditentukan oleh selera pusat atau propinsi sehingga tidaj aneh jika jabatan-jabatan itu hampir selalu merupakan porsi pejabat dari Priangan. 

Dengan jabatan puncak di daerah yang dikuasai pejabat dari Priangan tidak sedikit jika rekrutmen pegawai pun banyak dari orang Priangan juga sehingga KORPI diplesetkan menjadai “Korp Priangan”. Ketua STAIN Hasanuduin, mencontohkan bagaimana porsi pengisian pegawai di kampanye menjadi sepenuhnya wewenang orang propinsi tanpa ada kemampuan pihaknya untuk merekrut pegawai sesuai kebutuhannya. Wakil Ketua KPPB, Djajuli Mangkusubrata di hadapan tim DPOD di Serang pernah menyatakan, “Rakyat Banten lebih baik hidup merdeka dalam Propinsi Banten seklipun serba kekurangan dahulu dari pada hidup serba ada tapi tetap “dijajah” oleh propinsi lain. 

Hal yang sama sebagaimana dikatakan Guru Besar UNTIRTA Suparman Usaman, dengan mengutip pahlawan Filipina, Jose Rizal bahwa, “Lebih baik hidup di neraka tapi merdeka dari pada hidup di surga tapi “dijajah”. Barangkali satu hal cukup mengagetkan, dipintu rumah seorang penduduk Baduy luar, tertempel stiker bertuliskan “Propinsi atau Mati”. 

Tb.H. Farich Nahril, MBA mengajak H. Mardini dan Muchtar Mandala, untuk ikut serta dalam perjuanagan pembentukan Propinsi Banten. Mereka berusaha mencari penyelesaian yang tepat untuk mengkoordinasikan semua elemen yang terkait dengan PBB, termasuk merukunkan Pokja-PBB dan KPPB. Mereka bertiga melakukan pertemuan di Hotel Arya Duta Jakarta. Para tokoh ini sepakat untuk mengundang kedua kubu yang terlibat konflik. 

Dalam pertemuan berikutnya, tanggal 18 Januari 2000, di tempat yang sama, ternyata hanya KK. Irsyad Djuwaeli yang memenuhi unangan Farich dan kawan-kawan. Meskipun belum berhasil mempertemukan kedua tokoh itu, tetapi persoalan agaknya sudah jelas. Kedua kelompok besar itu, saling mengkalim sebagai wadah satu-satunya untuk memperjuangkan Propinsi Banten. Padahal menurut kubu Irsyad Djuwaeli, KPPB bertugas melakukan sosialisai PPB ke tingkat grass-root, sedangkan POKJA-PPB bertugas mempersiapkan SDM dan SDA dalam rangka PBB (Mansur,2001:176, juga wawancara dengan Tb. H. Farich Nahril, 19 Agustus 2003 dan keterangan tertulis dari H. Mardini, 11 September 2003). 

Namun yang tampak ke permukaan adalah pesaingan antara kedua kelompok itu. Apabila dalam satu kelompok terlontar satu gagasan utnuk menyelenggarakan kegiatan, tiba-tiba kelompok lainnya mendahului mengadakan kegiatan, tiba-tiba kelompok lainnya mendahului mengadakan kegiatan tersebut. 

Dalam pandangan Tb.Farich Nahril dan kawan-kawan, konflik antara KPPB dan Pokja-PPB inisangat kontra-produktif dalam mewujudkan PPB. Itulah sebabbya konflik harus segera diakhiri secara ‘win-win solution.” 

Selanjutnya, atas usaha H.Mardini, Ketua KPPB H.Uwes Qorny akhirnya bersedia untuk bertemu dengan ketua Pokja-PPB KH. Irsyad Djuwaeli. ” Kelompok Jakarta” akhirnya berhasil “merukunkan” kedua tokoh yang berseteru itu dalam acara silaturahmi yang diadakan di Restoran Jepang Shima, di Hotel Arya Duta Jakarta.

Dalam pertemuan itu, selain ketiga pemrakarsa, hadir pula cendikiawan Banten, H.MA Tihami, dua anggota DPR RI asal Banten yaitu Ekky Syahruddin danAly Yahya, serta tokoh-tokoh dari kedua kubu yaitu Hasan Alaydrus, H.Segaf Usman, Udin Safarudin, Aenk Haerudin, H. Bay Mulyadi Jayabaya, Uu Mangkusasmita, dan lain-lain yang berjumlah sekitar 15 orang. 

Dalam kesempatan itu, Muchtar Mandala mengusulklan utnuk mengadakan silatuhrami besar-besaran di tempat peristirahatannya di Kampung Nyimas Ropoh di Pandeglang. Sementara itu, meski agak terlambat, mengingat adanya tarik-menarik antara yang pro dan kontra di Kabupaten Tangerang, baru pada tanggal 22 Januari 2000, Pimpinan DPRD Kabupaten Tangerang mengeluarkan Surat Pernyataan Persetujuan untuk Pembentukan Propinsi Banten. 

Para tokoh Banten bergerak terus menggalang dukungan dari elite Banten yang berada di luar Banten, seperti Bandung, Bogor, dan Jakarta. Hasilnya cukup positif, meskipun tentu saja tidak sedikit elite yang dengan berbagai alasan tidak tertarik untuk mendukung PBB. Akan tetapi, pada akhirnya kebanyakan elite Banten bersikap mendukung. Salah seorang tokoh Banten yang tinggal di Jakarta adalah Tb. H.Tryana Sjam’un. Ia mantan bankir yang juga pengusaha serta menjadi pemegang saham dan komisaris di berbagai perusahan ini. Ia tampil menjadi motor penggerak dari berbagai kegiatan yang berskala nasional dalam rangka mewujudkan Propinsi Banten. 

Awal keterlibatannya secara langsung dimulai ketika Uwes Qorny Sjam’un, sebagai pengusaha yang biasa dahulu studi kelayakan tentang PPB. Studi kelayakan harus dilakukan oleh tim independen. Ketika ia bertemu kembali dengan sahabatnya itu, Uwes Qorny menyatakan, bahwa kajian seperti itu akan memakan waktu terlalu lama, sementara PPB harus dicapai dalam waktu secepatnya. Sesuai dengan kesepakatan di Hotel Arya Duta tanggal 18 Januari 2000, mengdakan acara hala-bihalal di kampung Nyimas Ropoh, Pandeglang.

Bertindak sebagai tuan rumah adalah H. Muchtar Mandala Menurut tuan rumah, dalam buku tamu tercatat sebanyak 540 orang yang hadir; ditambah dengan panitia dan tamu-tamu yang tidak mengisi buku tamu, diperkirakan jumlah peserta yang hadir mencapai lebih dari 600 orang. 

Mendagri Surjadi Sudirdja, yang hadir atas usaha H. Mardini, dalam sambutannya mengatakan bahwa selama hidupnya baru kali ini menyaksikan begitu banyak tokoh Banten dapat berkumpul bersama. Memang, “Pertemuan Nyimas Ropoh” dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat mulai dari para ulama, para pendekar, ibu-ibu yang tergabung dalam IWABA ( Ikatan Wanita Banten), pemuda, mahasiswa, para tokoh masyarakat baik yang ada di Banten maupun yang berada di luar Banten, para Bupati se-Banten, serta para ketua DPRD se-Banten. 

Dalam pertemuan silatuhrahmi ini, yang bertindak sebagai pengundang yaitu Uwes QOrny, Irsyad Djuwaeli, an H. Mardini. Sementara itu, para tokoh Banten yang hadir antara lain Mendagri Letjen (purn) Suryadi Sudirdja, Ketua KAHMI Jaya, Tb. Farich Nahril, Tb.H. Tryana Sjam’un, Anggota DPR-RI Ekky Syahrudin, H. M.Aly Yahya, dan Umbu Saraswati, cendekiawan asal Banten Rony Nitibaskara, Mustopadidjaja, dan H. MA Tihami, pengusaha H.Tb. Chasan Sochib, AJat Sudrajata, H.Hariri Hady,artis Muni Cader dan Dedy Gumelar (Miing Bagito), H. Aceng Ishak, H. Djadjat Mudjahidin, Elwa Tuskana, H. Djuwanda, H.Bay Mulyadi Jayabaya, para ulama KH. Aminuddin Ibrahim. LML, KH. Yusuf, dan H. Embay Mulya Syarif H. Irja Karis, H. Mansyur Muchjidin, H.Tb. Aat Syafaat, Uu Mangkusamita, H,Djajuli Mangkusubrata, Agus Najiullah, Tb.Encep Hadimulyana. 

Para pejabat Banten yang Hadir antara lain Bupati Pandeglang Yitno, Bupati Lebak Yas’a Mulyadi, ketua DPRD Pandeglang, Encep Daden Ibrahim, dan Ketua DPRD Kab. Tangerang. Tokoh lainnya yaitu, Dadang, Aceng Ishak, Hariri Hadi, Sudradjat, Harun Kamil, Palgunadi, dan lain-lain. Sebagai puncak acara dibacakan “Deklarasi Nyi Mas Ropoh” yang dibacakan oleh Encep Daden Ibrahim, Ketua DPRD Pandeglang dengan didampingi oleh ketua-ketua DPRD se Banten. Hal ini dapat dipandang sebagai dukungan resmi dari semua Ketua DPRD Tingkat II Karesidenan Banten, yang hadir dalam acara itu. Isi pernyataan itu sebagai berikut :

1. Kami warga masyarakat Banten senantiasa konsisten untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Kami warga masyarakat Banten mendesak lembaga legislatif dan eksekutif, baik di daerah maupun di pusat, untuk segera mewujudkan Banten sebagai propinsi, serta kami siap berpegang teguh menerima amanat aspirasi masyarakat akan terbentuknya Banten propinsi.

3. Kami warga masyarakat Banten bersepakat untuk tetap menjaga keutuhan dan kebersamaan dalam rangka merealisir amanat tersebut sesuai dengan harapan masyarakat Banten sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Banten.

Demikian surat pernyataan sikap bersama ini kami buat dengan sebenar - benarnya tanpa ada intervensi tanggungjawab akan terciptanya masyarakat adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Semoga niat ini selalu ada dalam lindungan Allah Swt. Amin (Mansur,2001:180-181). 

Suasana pertemuan itu menyiratkan bahwa mereka yang hadir pada umumnya merasakan kobaran semangat para peserta dan tumbuhnya rasa kebersamaan, rasa persaudaraan yang begitu menyatu, kompak bersatu untuk satu tujuan yang tidak mungkin dapat dibendung lagi yaitu semangat “Banten harus menjadi Propinsi”.

Beberapa peserta merasa yakin dengan semangat seperti ini Banten “pasti” jadi Propinsi, bahkan kalau melihat suasana pertemuan waktu itu, ada semacam perasaan seakan Banten benar-benar telah menjadi Propinsi.

Seperti telah disepakati dalam pertemuan di kampung Nyimas Ropoh, para tokoh Banten menemui ketua DPR RI pada tanggal 25 Januari 2005. Rombongan berkumpul lebih dahulu di Permata Hijau untuk mematangkan rencana kemudian berangkat bersama-sama ke gedung DPR RI di Senayan Jakarta. Tokoh-tokoh masyarakat Banten yang hadir yaitu Pimpinan DPRD sewilayah Banten, H.Uwes Qorny, Tb. H.Farich Nahril, H.Muchtar Mandala, H. Mardini, Tb.H.Tryana Sjam’un, Irsyad Djuwaeli, Tb.Chasan Sochib, KH.Aminuddin Ibrahim, H.Tb. Aat Syafaat, Djunaedi As’ad, dan lain – lain. Para tokoh Banten ini diterima dengan baik oleh Ketua DPR RI Akbar Tanjung yang didampingi beberapa pimpinan DPR lainnya di Gedung Nusantara III di Lantai. 

Dalam kesempatan itu, Ketua DPR RI menyatakan bahwa dilihat dari tuntutan masyarakat, urgensi usul PBB itu sangat tinggi sehingga DPR akan berupaya agar aspirasi tersebut dapat tersalurkan dengan baik. Usai pertemuan itu, rombongan yang berjumlah sekitar seratus orang itu dijamu makan siang oleh Tb. H. Tryana Sjam’un di Restoran Lagoon Hotel Hilton Jakarta. 

Pada saat itu dibicarakan tentang strategi dan langkah-langkah lanjutan serta anggaran biaya yang dperlukan untuk berbagai kegiatan PBB karena tidak mungkin suatu organisasi bisa berjalan tanpa dukungan finansial. Pada malam harinya, Tryana Sjam’un mengundang makan malam beberapa tokoh yang hadir dalam pertemuan siang itu dirumahnya di Kemang Selatan. 

Dalam kesempatan itu, Tryana Sjam’un menyeahkan sejumlah uang kepada H.Mardini untuk kegiatan PP. (keterangan tertulis H.Mardidi 11 September 2003). Pertemuan “Kelompok Jakarta” selanjutnya dilakukan di rumah Tb. H.Farich Nahril di Permata Hijau. Sebagai seorang organisatoris kawakan, ia menekankan perlunya perencanaan yang baik yang pasti harus ada dukungan finansial yang cukup. Maka Ketu KAHMI jaya ini mengontak para pengusaha asal Banten yang dikenalnya. Dalam pertemuan di Permata Hijau itu, Tb. Farich Nahril mengusulkan dibentuknya wadah yang berfungsi sebagi “koordinator” organisasi-organisasi dan elemen-elemen yang terkait dengan PPB.

Para pengusaha asal Banten itu kemudian membentuk wadah yang disebut “Koordinator Himpunan Pengusaha Banten”, yang anggotanya terdiri dari Tb.Farich Nahril, H. Muchtar Mandala, Tb. H.Tryana Sjam’un, KH. Irsyad Djuwaeli, Tb.H. Chasan Sochib, H. Mardini, dan lain-lain. Pada tanggal 4 Februari 2000, para pengusaha Banten di atas mengundang para tokoh masyarakat Banten untuk menghadiri pertemuan dirumah Tb.H.Tryana Sjam’un, di Jalan Kemang Selatan VIII Jakarta. 

Bertindak sebagai panitia pengundang adalah Tb.Farich Nahril dan H.Mardini. Dalam pembukaan rapat, H. Mardini menyampaikan perlunya dibentuk wadah berupa organisasi dan perlunya seorang tokoh yang bakal memimpin organisasi ini. Sebagaian besar peserta pertemuan itu hampir menyepakati dibentuknya wadah Himpunan Pengusaha Banten, yang memang telah dibentuk sebelumnya. Namun H. Muchtar Mandala, mengusulkan wadah yang lebih tepat untuk menyatukan kelompok-kelompok perjuangan PPB ia mengusulkann agar wadah itu dinamai Badan Koordinasi Pembentukan Propinsi Banten (Bakor-PPB). 

Rapat juga menyepakati Tb.H.Tryana Sjam’un sebagai Ketua Umum Bakor-PPB, yang diterima para hadirin secara aklamasi sebagai ketua Umum Bakor-Banten dan Tb. H.Farich Nahril sebagai Sekretaris Umum dan H. Mardini sebagai Bendahara Umum. Dalam rapat penyempurnaan pengurus di Jalan Penglima Polim Raya No.49 Jakarta ditetapkan nama wadah tersebut sebagai Badan Koordinasi Pembentukan Propinsi Banten (Bakor-PPB), yang beranggotakan semua unsur pergerakan perjuangan Propinsi Banten yang berada di wilayah Banten dan sekitarnya termasuk yangada di Jakarta, Bandung, Bogor, dan Lampung. 

Dalam gerakan PPB, tidak bisa dilupakan peran mahasiswa sebagaimana juga ketika terjadi penggantian Orde Lama oleh Orde Baru, kemudian pergantian Orde Baru, peran mahasiswa sangat signifikan. Demikian juga dalam gerakan PPB, kontribusi mereka cukup penting. Para aktivis mahasiswa ini mengkonsoli-dasikan diri ke dalam berbagai kelompok dan forum untuk maksud membantu mengaktualisasikan pembentukan Provinsi Banten ini baik yang ada di Banten sendiri maupun di luar Banten seperti, mulai dari Senat Mahasiswa Untirta, STAIN, IAIB, AMIK, dan Akperta di Banten hingga organisasi-organisasi mahasiswa di luar Banten seperti di Depok: Fakultas UI, di Bandung: Forum pergerakan Mahasiswa Banten (FORBAN), Kumala, Kumandang, Kumayasa, IMB, IKMB, KMB, HMB, dan Himata, serta di Bogor: Gerakan Mahasiswa (GEMA) (Mulyana, 2000:314). 

Tidak ketinggalan juga adalah warga Banten di luar Banten yang turut terpanggil untuk mengkonsolidasikan diri atau setidaknya lebih eksis setelah adanya isu ini seperti warga Banten yanga ada di Bandung (Riwaban), Warga Banten Jakarta, Cianjur, Lampung dan lain-lain. 

Pengorganisasian gerakan semacam ini tentu saja menjadikan upaya-upaya untuk mencapai sasaran gerakan menjadi lebih efektif dan efisien. Misalnya dengan mendesakan dukungan dan rekomendasi dari lembaga-lembaga politik formal baik di tingkat regional, lokal maupun nasional (Mulyana, 2000:315). 

Pada bulan Mei dilakukan rapat Pansus dengan mengundang pemerintah. Waktu itu pemerintah meminta penundaan UU Pembentukan Provinsi Banten karena pembentukan DPOD belum selesai. Tentu saja penundaan itu membuat masyarakat Banten kesal hingga ada yang mengancam akan menutup jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta atau mengancam akan memadamkan PLTU Surlayala dan memblokir penyebrangan Merak-Bakauheni (Mansur, 2001:2004-241) 

Pada tanggal 8 Juni 2000, Ketua Dewan Penasehat Bakor-PBB Tb. H. Chasan Sochib bersama unsur Muspida se-Wilayah I Karesidenan Banten dan tokoh-tokoh masyarakat Banten mengadakan pertemuan untuk pamit kepada Gubernur Jawa Barat pertemuan dilangsungkan di Gedung Dispenda Jawa Barat di jalan Soekarno Hatta.

Dalam kesempatan itu, Gubernur HR Nuriana belum bisa mengatakan soal setuju atau tidak karena hasil penelitian DPOD pun belum ada. Di antara peserta pertemuan, ada yang merasa kurang setuju dengan pernyataan Gubernur Jabar itu sehingga keluar ruangan. Setelah pertemuan itu, Tb. H. Chasan Sochib spontan mohon izin untuk pamitan keliling ke daerah-daerah Tingkat II Jawa Barat, Bogor, Cirebon, Purwakarta, dan Garut. Safari perpisahan itu dilakukan tanggal 20-23 Juni 2000 (Mansur, 2001:261-271). 

Ketika akhirnya DPOD terbentuk, Bakor-PPB pun bergerak cepat. Lobby demi lobby dilakukan pimpinan Bakor-PPB kepada para mentri yang menjadi anggota DPOD yaitu, Menteri Otda Ryaas Rasyid dan Mentri Hukum / Perundang-undangan dan HAM, Yusril Ihza Mahendra.

No comments:

Post a Comment