Masih Perlukah Belajar Hapalan? (Antara Belajar Ngaji Gerabad dan Hapalan Perkalian)

Ngaji di dalam tulisan ini disempitkan maknanya  seperti  yang dipahami di desa saya yaitu suatu aktivitas membaca Al-qur'an. Walau pun dalam arti luas, ngaji bisa memiliki berbagai makna, namun jika ada kalimat seseorang sedang "ngaji" , maka kita sepakati bahwa orang tersebut sedang membaca Al-qur'an.

Dahulu, saya belajar ngaji bukan kepada ustad atau guru ngaji. Tapi saya belajar kepada almarhum kakek yang juga lulusan pesantren salafiah. Metode belajar yang kakek saya gunakan adalah metode gerabad (begitu kakek saya menyebutnya). Dengan metode ini saya belajar ngaji dengan tidak mempelajari buku iqro seperti pada umumnya. Saya juga tidak di ajari berbagai jenis hukum bacaan dalam membaca Alquran. Modal saya ngaji saat itu hanya hafal huruf hijaiah dan makhroj huruf. Selebihnya saya tidak diajari. Lalu bagaimana saya bisa membaca Alquran dengan baik dan benar, dengan hukum bacaan yang tepat?
Melalui metode gerabad, saya diajari surat - surat pendek. Hal yang terpenting dari metode ini saya harus hapal surat tersebut. Selanjutnya saya praktek membaca dihadapan kakek.  Ketika saya membaca surat tersebut, setiap bacaan saya yang salah diluruskan oleh beliau. Bacaan yang harus dibaca panjang, yang harus didengungkan, yang harus di baca jelas, dan lain sebagainya beliau ajarkan. Tapi sedikit pun ia tidak menyampaikan bahwa ini hukum bacaan ikhfa, idghom, mad tabei dan sejenisnya. Ia hanya mengajarkan bagaimana seharusnya membaca ketika bertemu tanda tertentu, jika huruf tertentu bertemu dengan huruf lainnya. Intinya ia mengajarkan hukum bacaan tanpa menyebut nama hukum bacaan tersebut. Berbagai teori ilmu tajwid tidak ia singgung, tapi saya harus bisa membaca Alqur'an dengan hukum bacaan yang tepat. Hasilnya sampai saat ini saya bisa membaca Alqur'an dengan hukum bacaan yang tepat.

Setelah saya beranjak dewasa, saya baru menyadari bahwa pendidikan ngaji yang kakek saya ajarkan lebih kepada learning by doing, dengan mengabaikan berbagai teori yang ada. Tapi bukan berarti teori hukum bacaan tidak penting. Justru dengan metode tersebut, saya dapat dengan mudah menyebutkan berbagai hukum bacaan dikemudian hari.

Selain belajar ngaji, hal yang berkesan pada waktu saya kecil adalah ketika belajar perkalian. Saya ingat betul pada waktu kelas 3 sekolah dasar (SD), saya dan kawan - kawan diminta menghapalkan perkalian. Satu persatu kami diminta ke depan kelas untuk menyampaikan hapalan yang kami punya. Sungguh sial jika diantara kami ada yang tidak hapal perkalian yang ditugaskan, karena pak guru tidak segan menghukumnya. Jenis hukuman pun bervariasi, ada yang dijewer, berdiri didepan kelas dan lain sebagainya. Untung saya berjuang keras dengan menghapal perkalian tersebut. Alhasil saya aman dari hukuman pak guru.

Pada saat itu jujur saya merasa ngeri, namun pada tahap selanjutnya, saya sadar kengerian saat itu adalah bekal saya untuk dikemudian hari. Ketika saya berjuang keras dan berhasil menghapal perkalian, saya jadi lebih mudah mengerjakan soal -soal matematika yang berhubungan dengan perkalian. Cukup dengan recalling hapalan perkalian yang saya miliki.

Namun jika pola pendidikan semacam itu diterapkan pada era sekarang, sudah dapat dipastikan akan mendapat hujan kritik bahkan mungkin caci. Jangankan pukul atau jewer, tersentuh sedikit saja banyak kasus guru yang menjadi terlapor. Alhasil anak sekarang lebih manja dan liar karena guru banyak yang bersifat masa bodoh karena takut berurusan dengan pihak berwajib.

Begitu juga dengan belajar hapalan. Sekarang belajar hapalan seolah menjadi hal yang tabu. Sesuatu yang harus dihindari. Untuk belajar perkalian, siswa cukup memahami bahwa perkalian adalah penjumlahan berulang. Begitu juga pembagian yang merupakan kebalikannya.

Sejak tidak ada guru yang meminta siswa menghapal perkalian, hasilnya luar biasa. Banyak diantara siswa kelas 7 yang begitu kesulitan menjawab soal perkalian. Demikian keluh seorang guru matematika rekan kerja terkait dengan kemampuan dasar yang dimiliki siswa.

Saya memiliki seorang anak di kelas 2 SD. Ia belajar tentang perkalian. Alhamdulillah ia paham betul bahwa perkalian adalah penjumlahan yang berulang. Ia bisa mengerjakan soal perkalian dengan melakukan penjumlahan berulang. Semisal 7 x 6, maka ia akan menjumlahkan angka 6 sebanyak 7 kali. Namun ia merasa kesulitan saat ia harus menghitung perkalian 3 x 4 x 5. Yang ia lakukan adalah menjumlahkan angka 4 sebanyak 3 x, hasilnya 12, kemudian ia menjumlahkan angka 5 sebanyak 12 kali. Saat menjumlahkan angka - angka tersebut, terkadang ia kerepotan, dengan hasil yang kurang tepat pula. Saya coba berinisiatif agar ia belajar menghapalkan perkalian. Hasilnya luar biasa. Dengan cepat ia bisa menjawab soal - soal perkalian sederhana. Ia tidak lagi repot menjumlahkan angka 6 sebanyak 7 kali, tapi ia hanya me-recall ingatan yang sudah dihapalnya bahwa 6 x 7 = 42. Demikian juga saat ia mengerjakan soal perkalian bertingkat, dengan hapalan yang ia miliki memudahkannya mengerjakan soal tipe itu.

Lalu apa yang ingin saya bagi dalam tulisan ini? Sederhana saja, saya hanya ingin mengajak bahwa kita jangan terlalu antipati terhadap belajar hapalan. Dalam beberapa hal mungkin tipe belajar seperti ini kurang baik. Tapi untuk beberapa kasus yang lain, justru hapalan bisa dimanfaatkan untuk mempermudah pembelajaran. Seperti halnya belajar "ngaji" yang mengandalkan hapalan melalui metode gerabad di atas. Walau sepertinya pembelajaran tidak bermakna, namun setelah itu ternyata hasilnya luar biasa. Bahkan kita diajak untuk bisa menemukan sendiri (learning by doing) berbagai hukum bacaan. Dan ketika yang lain masih disibukan dengan belajar berbagai hukum bacaan, justru kita sudah bisa membaca dengan baik Alqur'an dengan hukum bacaan yang benar - walau mungkin tidak bisa menyebutkan nama hukum bacaan tersebut. 

Begitu juga dengan menghapalkan perkalian. Siswa justru akan dipermudah mengerjakan berbagai soal perkalian jika ia sudah hapal perkalian dasar. Ia tidak lagi repot harus menjumlahkan berkali - kali angka dari soal perkalian yang ia terima.

Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan, bahwa belajar dengan metode hapalan masih diperlukan. Terutama pada kemampuan dasar seperti perkalian sederhana. *)

*)Mohon maaf jika tulisan di atas tidak enak di baca karena redaksi yang kacau. Mohon maklum karena bukan penulis profesional atau lulusan jurusan bahasa. Haha...

 Allahualam

No comments:

Post a Comment