Siswa Sapi Perah Guru!!


Tidak ada salahnya guru memiliki jiwa wirausaha. Untuk menambah penghasilannya yang dianggap masih kurang bisa saja dengan mencari tambahan penghasilan dari bidang lain dengan cara berwirausaha. Ini berlaku bagi guru yang memang penghasilannya jauh panggang dari api seperti para honorer atau guru lain yang belum tersertifikasi. Sedangkan bagi mereka yang sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi, penghasilan mereka lebih dari cukup walau faktanya tunjangan sertifikasi yang diperoleh sering tersendat. Namun demikian, profesional menjadi kata wajib bagi guru – guru tersebut. Profesional disini dapat diartikan bahwa mereka harus menjalankan tugasnya sebagai guru dengan sepenuh hati, sepenuh daya dan tidak terbagi dengan kesibukan pada bidang lain. Apalagi usaha sampingan.

JIka guru berjiwa wirausaha, ia harus pandai membaca peluang.  Banyaknya siswa disekolah adalah potensi usaha yang mengiurkan.  Bayangkan dengan mengambil keuntungan Rp 1000 saja dari 600 siswa misalnya, bisa menghasilkan Rp 600.000. Bagaimana jika keuntungan dilipatgandakan? Bagaimana jika jumlah siswa lebih banyak? Dan tampaknya, potensi ini dimanfaatkan dengan baik oleh beberapa guru dalam meraup keuntungan pribadi. Hanya saja bukan dengan menjalankan sebuah bisnis, tapi menjadikan siswa sebagai sapi perah dengan cara melakukan pungutan liar (pungli).

Selain karena factor penghasilan guru yang dianggap  masih belum bisa mencukupi, factor lain yang menyebakan oknum guru mejadikan siswa sebagai sapi perah antara lain: 1) guru terjerat utang, sisa gaji minim sehingga ia mencari tambahan penghasilan, 2)gaji guru digunakan untuk memenuhi gaya hidup konsumtif, semisal membeli motor, mobil dan sebagainya sehingga setiap bulannya sisa gaji minim, 3) tidak memiliki panggilan jiwa sebagai pendidik yang rela mengorbankan apapun demi kamajuan peserta didiknya tapi selalu berorientasi mencari keuntungan, dan 4) oknum guru tersebut dipenuhi rasa tamak atau rakus.

Beberapa modus pungli yang dilakukan oknum guru terhadap siswanya antara lain : 1)Pembuatan kaos/seragam kelas.  Agar kelasnya terlihat kompak, siswa diminta membuat kaos atau seragam kelas yang berbeda dengan kelas lain. Pembuatan seragam diserahkan pada guru dan siswa diminta membayar sejumlah uang untuk membeli seragam. Guru mengambil keuntungan dari selisih harga produksi dengan harga jual kepada siswa. Mengapa hal ini dikategorikan sebagai pungli?. Pertama, biasanya siswa dipaksa atau terpaksa membeli seragam karena tuntutan guru atau  teman lainnya. Dan kedua, harga yang ditetapkan kadang lebih tinggi dibanding harga pasar agar oknum guru mendapatkan keuntungan lebih. 2) Mengganti uang foto copi. Dalam memberikan tugas atau ulangan harian, terkadang guru harus memperbanyak lembar tersebut sesuai jumlah siswa. Guru kemudian meminta siswa mengganti biaya foto copi yang telah dikeluarkan. Mengapa ini dikatakan pungli? Karena  biaya foto copy seharusnya sudah masuk dalam cakupan penggunaan dana BOS. Selain itu, biaya foto copi yang dibebankan guru lebih tinggi dari yang seharusnya.  3) Karya wisata. Karya wisata biasanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan tentunya dibebankan kepada siswa. Karya wisata bisa saja dilaksanakan jika benar mendukung kegiatan belajar mengajar di sekolah. Hanya saja dalam prakteknya, terkadang guru mengada – ada melakukan karyawisata dengan orientasi tertentu seperti agar bisa liburan gratis atau mencari keuntungan financial dari kegiatan tersebut. Alhasil, siswa harus membayar tinggi biaya karyawisata tersebut. Tentu dengan paksaan secara halus dengan ancaman tidak akan diberikan nilai atau sebagainya. Siswa pun terpaksa mengikuti kegiatan yang pada akhirnya juga akan membebani orang tua siswa. Bagi orang tua kelas menengah keatas, biaya tersebut bukanlah sebuah persoalan. Tapi bagi kelas menengah kebawah, ini akan menjadi beban tersendiri.  4)Praktek renang. Ini adalah pungli yang sering saya temui disekitar lingkungan saya. Pelakunya biasanya adalah guru olahraga. Dengan dalih untuk memberikan pengalaman nyata tentang materi aquatic, siswa diajak ke kolam renang umum dengan dibebankan sejumlah biaya mulai dari biaya angkutan sampai tiket masuk. Menurut saya sah - sah saja guru olahraga mengajak siswaberenang dikolam umum. Hanya saja, ada oknum guru olahraga yang menjadikan ini sebagai sarana pungli. Dengan dalih praktek renang, oknum tersebut mengajak siswanya ke kolam renang umum berkali - kali dalam setahun. Untuk ukuran dikampung seperti daerah saya, tentu ini menjadi beban tersendiri siswa karena mereka harus menyediakan anggaran cukup besar. Apalagi kegiatan ini biasanya diwajibkan dan lagi – lagi dengan ancaman tidak diberikan nilai.

Selain beberapa contoh di atas, sebetulnya masih banyak kegiatan yang menjadikan siswa sebagai sapi perah bagi para oknum guru. Bahkan sebuah situs seperti www.posmetroprabu.com menulis tentang 58 jenis pungli disekolah yang diincar Tim Saber Pungli. Walau Tim Saber Pungli mengklarifikasi bahwa tidak benar mengumukan 58 jenis pungli, faktanya dilapangan itu memang benar terjadi. Beberapa diantara kegiatan yang dianggap pungli pada tulisan tersebut antara lain pembelian LKS, infak, daftar ulang, uang SPP, uang bangunan, uang foto, uang biaya perpisahan, biaya psikotes, uang try out, uang bimbel, iuran pramuka dan lain sebagainya. Silahkan lihat tulisan "Ini dia 58 Jenis Pungli di Sekolah Incaran Tim Saber Pungli". 

Maka jelaslah, siswa yang seharusnya tenang mengikuti pembelajaran di sekolah karena telah dibiayai pemerintah melalui anggaran pendidikan 20 %, faktanya sampai saat ini masih banyak siswa dijadikan sapi perah oknum guru atau sekolah. Dan peran komite sekolah yang digadang –gadang akan mengawasi atau bekerjasama dengan manajemen sekolah, fungsinya telah berubah hanya sebagai kepanjangan tangan kepala sekolah untuk melakukan pungli kepada wali siswa.


Allahualam…

No comments:

Post a Comment