Tidak ada salahnya guru memiliki
jiwa wirausaha. Untuk menambah penghasilannya yang dianggap masih kurang bisa
saja dengan mencari tambahan penghasilan dari bidang lain dengan cara
berwirausaha. Ini berlaku bagi guru yang memang penghasilannya jauh panggang
dari api seperti para honorer atau guru lain yang belum tersertifikasi.
Sedangkan bagi mereka yang sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi, penghasilan
mereka lebih dari cukup walau faktanya tunjangan sertifikasi yang diperoleh
sering tersendat. Namun demikian, profesional menjadi kata wajib bagi guru – guru tersebut.
Profesional disini dapat diartikan bahwa mereka harus menjalankan tugasnya
sebagai guru dengan sepenuh hati, sepenuh daya dan tidak terbagi dengan
kesibukan pada bidang lain. Apalagi usaha sampingan.
JIka guru berjiwa wirausaha, ia
harus pandai membaca peluang. Banyaknya
siswa disekolah adalah potensi usaha yang mengiurkan. Bayangkan dengan mengambil keuntungan Rp 1000
saja dari 600 siswa misalnya, bisa menghasilkan Rp 600.000. Bagaimana jika
keuntungan dilipatgandakan? Bagaimana jika jumlah siswa lebih banyak? Dan
tampaknya, potensi ini dimanfaatkan dengan baik oleh beberapa guru dalam meraup
keuntungan pribadi. Hanya saja bukan dengan menjalankan sebuah bisnis, tapi menjadikan
siswa sebagai sapi perah dengan cara melakukan pungutan liar (pungli).
Selain karena factor penghasilan guru
yang dianggap masih belum bisa mencukupi,
factor lain yang menyebakan oknum guru mejadikan siswa sebagai sapi perah
antara lain: 1) guru terjerat utang, sisa gaji minim sehingga ia mencari
tambahan penghasilan, 2)gaji guru digunakan untuk memenuhi gaya hidup
konsumtif, semisal membeli motor, mobil dan sebagainya sehingga setiap bulannya
sisa gaji minim, 3) tidak memiliki panggilan jiwa sebagai pendidik yang rela
mengorbankan apapun demi kamajuan peserta didiknya tapi selalu berorientasi
mencari keuntungan, dan 4) oknum guru tersebut dipenuhi rasa tamak atau rakus.
Beberapa modus pungli yang
dilakukan oknum guru terhadap siswanya antara lain : 1)Pembuatan kaos/seragam
kelas. Agar kelasnya terlihat kompak, siswa
diminta membuat kaos atau seragam kelas yang berbeda dengan kelas lain. Pembuatan
seragam diserahkan pada guru dan siswa diminta membayar sejumlah uang untuk
membeli seragam. Guru mengambil keuntungan dari selisih harga produksi dengan
harga jual kepada siswa. Mengapa hal ini dikategorikan sebagai pungli?.
Pertama, biasanya siswa dipaksa atau terpaksa membeli seragam karena tuntutan
guru atau teman lainnya. Dan kedua, harga
yang ditetapkan kadang lebih tinggi dibanding harga pasar agar oknum guru
mendapatkan keuntungan lebih. 2) Mengganti uang foto copi. Dalam memberikan
tugas atau ulangan harian, terkadang guru harus memperbanyak lembar tersebut
sesuai jumlah siswa. Guru kemudian meminta siswa mengganti biaya foto copi yang
telah dikeluarkan. Mengapa ini dikatakan pungli? Karena biaya foto copy seharusnya sudah masuk dalam
cakupan penggunaan dana BOS. Selain itu, biaya foto copi yang dibebankan guru
lebih tinggi dari yang seharusnya. 3) Karya
wisata. Karya wisata biasanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan tentunya
dibebankan kepada siswa. Karya wisata bisa saja dilaksanakan jika benar
mendukung kegiatan belajar mengajar di sekolah. Hanya saja dalam prakteknya,
terkadang guru mengada – ada melakukan karyawisata dengan orientasi tertentu
seperti agar bisa liburan gratis atau mencari keuntungan financial dari
kegiatan tersebut. Alhasil, siswa harus membayar tinggi biaya karyawisata
tersebut. Tentu dengan paksaan secara halus dengan ancaman tidak akan diberikan
nilai atau sebagainya. Siswa pun terpaksa mengikuti kegiatan yang pada akhirnya
juga akan membebani orang tua siswa. Bagi orang tua kelas menengah keatas,
biaya tersebut bukanlah sebuah persoalan. Tapi bagi kelas menengah kebawah, ini
akan menjadi beban tersendiri. 4)Praktek
renang. Ini adalah pungli yang sering saya temui disekitar lingkungan saya.
Pelakunya biasanya adalah guru olahraga. Dengan dalih untuk memberikan
pengalaman nyata tentang materi aquatic, siswa diajak ke kolam renang umum
dengan dibebankan sejumlah biaya mulai dari biaya angkutan sampai tiket masuk.
Menurut saya sah - sah saja guru olahraga mengajak siswaberenang dikolam umum. Hanya saja, ada oknum guru
olahraga yang menjadikan ini sebagai sarana pungli. Dengan dalih praktek
renang, oknum tersebut mengajak siswanya ke kolam renang umum berkali - kali dalam setahun. Untuk ukuran dikampung seperti daerah saya, tentu ini
menjadi beban tersendiri siswa karena mereka harus menyediakan anggaran cukup
besar. Apalagi kegiatan ini biasanya diwajibkan dan lagi – lagi dengan ancaman
tidak diberikan nilai.
Selain beberapa contoh di atas,
sebetulnya masih banyak kegiatan yang menjadikan siswa sebagai sapi perah bagi
para oknum guru. Bahkan sebuah situs seperti www.posmetroprabu.com menulis tentang
58 jenis pungli disekolah yang diincar Tim Saber Pungli. Walau Tim Saber Pungli mengklarifikasi bahwa tidak
benar mengumukan 58 jenis pungli, faktanya dilapangan itu memang benar terjadi.
Beberapa diantara kegiatan yang dianggap pungli pada tulisan tersebut antara
lain pembelian LKS, infak, daftar ulang, uang SPP, uang bangunan, uang foto,
uang biaya perpisahan, biaya psikotes, uang try out, uang bimbel, iuran pramuka
dan lain sebagainya. Silahkan lihat tulisan "Ini dia 58 Jenis Pungli di Sekolah Incaran Tim Saber Pungli".
Maka jelaslah, siswa yang
seharusnya tenang mengikuti pembelajaran di sekolah karena telah dibiayai
pemerintah melalui anggaran pendidikan 20 %, faktanya sampai saat ini masih
banyak siswa dijadikan sapi perah oknum guru atau sekolah. Dan peran komite
sekolah yang digadang –gadang akan mengawasi atau bekerjasama dengan manajemen
sekolah, fungsinya telah berubah hanya sebagai kepanjangan tangan kepala
sekolah untuk melakukan pungli kepada wali siswa.
Allahualam…
No comments:
Post a Comment