Oleh Dr. Saleh A. Djamhari
Pada hari Jum'at tanggal 11 Maret 1966, situasi ibukota berbeda dari biasanya. Jalan - jalan di sekitar istana telah penuh dengan mahasiswa. Sejak pagi - pagi buta mereka telah berada di depan istana. Kampus Universitas Indonesia yang semula dijaga oleh kesatuan - kesatuan KOSTRAD pada hari itu tampak sunyi, ditinggalkan oleh penjaganya dan mahasiswanya. Di mulut Jalan Menteng Raya menuju ke Medan Merdeka Timur ditutup untuk umum. Pasukan Tjakrabirawa dalam keadaan siaga tempur di Istana. Situasi Kota Jakarta sangat mencekam, sewaktu - waktu bisa pecah insiden dan pertumpahan darah.
Pada hari itu di Istana Negara akan diadakan Sidang Paripurna Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan. Sidang Kabinet ini menjadi istimewa karena merupakan sidang pertama Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan, sejak para menterinya dilantik pada 24 Februari 1966. Karena jalan diblokir oleh mahasiswa, mobil para menteri yang akan menghadiri sidang dikempesi bannya. (catatan : Mobil dinas menteri adalah Sedan Dodge Dart bercat hitam yang mudah dikenali yang nomor polisinya hanya dua angka).
Sebagian menteri dengan cara-caranya masing -masing untuk bisa hadir dalam sidang kabinet. Ada yang menggunakan sepeda, ada yang dijemput dengan helikopter. Ada pula yang sebelumnya menginap di Guest House Istana karena pihak Istana telah mengantisipasi terjadinya pemblokiran jalan - jalan, seperti yang pernah terjadi pada pelantikan menteri pada 24 Februari 1966 yang lalu. Beberapa orang yang telah berada di Guest Haouse, antara lain Laksamana Udara Suryadarma (Menteri Penasehat Presiden), Oei Tjoe Tat (Pramoedya Antanta Toer, 1998, hal 204-205).
Pada pukul 07.30, Brigjen Sabur, Komandan Pasukan Tjakrabirawa yang juga ajudan presiden, dari Istana Bogor menelpon Pangdam V Brigadir Jenderal Amir Machmud, mengkonfirmasi apakah Jakarta dalam keadaan aman bagi presiden. Amir Machmud menyatakan aman, Presiden bisa memasuki ibu kota. Presiden Soekarno bersama dengan tiga orang Waperdam tiba di Istana Merdeka pada pukul 09.00. Presiden langsung menuju kamarnya berganti pakaian dan istirahat di teras seperti kebiasaannya. Ia memanggil Amir Machmud, penanggungjawab keamanan ibukota dan salah seorang kepercayaannya, menanyakan apakah para demonstran bisa mengganggu sidang kabinet. Jumlah demonstran yang ia lihat dari helikopter demikian besarnya. Amir Machmud ikut mengiringi. Di ruang sidang telah hadir hampir semua menteri kecuali Men/Pangad Jenderal Soeharto dan Menteri Perkebunan Frans Seda. Amir Machmud kemudian memohon ijin meninggalkan ruang sidang, karena ia bukan menteri. Presiden memerintahkan agar ia tetap berada dalam ruangan (Saleh A. Djamhari, et. al. 1986, hal 43 - 44). Tatkala presiden memasuki ruangan, Oei Tjoe Tat mempunyai kesan sendiri. "Air mukanya memancarkkan keprihatinan malahan condong pada duka cita kekecewaan dan kemarahan yang ditahan. Suaranya tidak lantang sebaliknya perlahan - lahan. Yang bicara seperti bukan Bung Karno tapi seorang guru besar universitas yang sedang memberi kuliah. Seakan saya mendapat firasat, barangkali inilah terakhir kali saya melihatnya dalam keadaan hidup" (Pramoedya Ananta Toer, et.al., 1998, hal. 205 - 206).
Dalam Surat Kabar Angkatan Bersendjata edisi 12 Maret 1966, dimuat reportase secara lengkap pidato presiden setelah sidang dibuka. Presiden meminta agar para menteri lebih meningkatkan kekompakan sesuai tahapan revolusi dan mengakhiri pertengkaran politik. Kata presiden : "Saya menghendaki kekompakan menteri - menteri anggota Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan sebagai pembantu - pembantu saya , merupakan kabinet yang betul - betul mengikuti pimpinan saya, sebagai presiden. Perdana Menteri Pangti, Pemimpin Besar Revolusi dan semuanya itu harus berdiri di atas ajaran - ajaran saya. Saya tidak menghendaki seorang pun yang tidak mengikuti pimpina saya. Kalau ada di antara saudara - saudara tidak benar - benar mengikuti pimpinan saya lebih baik terang - terangan ... "
"Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan adalah alat revolusi, yang merupakan badan politik yang terutama sekali harus menjalankan perjuangan politik. Oleh karena perjuangan politik itu bermacam - macam romannya, maka sudah barang tentu ada perbedaan politik. Para menteri harus menghindari itu. Sebagai pembantu saya, harus berdiri di atas garis pimpinan saya. Dalam meningkatnya perjuangan sekarang ini, memang sudah logis kalau ada kontra revolusi karena kita menentang imperialisme dan meletakan dasar - dasar menuju masyarakat sosialsime. Sekarang kita terutama sekali hendaknya menjebol imperialisme, kolonialisme." (Angkatan Bersendjata, 12 Maret 1966).
Tatkala presiden berpidato, sidang baru berlangsung kurang lebih 10 menit, Amir Machmud menerima nota dari Jenderal Sabur meminta agar Amir Machmud ke luar sebentar dari ruangan sidang kabinet. Nota itu diterima Amir Machmud dari Ajun Komisaris Besar Polisi Sumirat. Isinya meminta Amir agar keluar sebentar karena diluar ada pasukan tanpa tanda pengenal. Amir Machmud menolak meninggalkan ruangan, karena merasa tidak sopan meninggalkan ruangan saat presiden sedang berpidato. Ia yakin tidak ada bahaya yang mengancam, berbeda dengan penilaian Sabur. Kemudian Sabur mengirim nota kedua, dengan catatan urgent, meminta agar Amir mCahmud ke luar sidang (Amir Machmud, 1985 hal. 7). Rupanya Sabur tidak mau mengambil resiko maka ia langsung menyampaikan nota kepada presiden, melalui ajudan presiden Bambang Widjanarko.
Menurut Jenderal Polisi Soetjipto Joedodiharjo, nota Sabur itu berisi : "Ada unidentified force dari arah Glodok menuju istana. Demi keamanan Bapak supaya meninggalkan sidang". Presiden menghentikan pidatonya dan berkata, "Perkembangan baru telah terjadi". Surat itu disampaikan kepada Wakil Perdana Menteri Soebandrio dan secara beranting. Penerima terakhir Menteri Panglima Angkatan Kepolisian Soetjipto Joedodiharjo (Saleh A. Djamhari, etal., 1986, hal. 48). Setelah menerima nota, Amir Machmud, yang duduk di deretan kursi ketiga, menyaksikan tangan presiden bergetar, lalu dia berdiri. Pimpinan sidang diserahkan kepada Waperdam III, Dr. Leimena. Tatkala presiden berjalan meninggalkan ruang sidang, Amir Machmud selaku penanggungjawab keamanan, berdri dan mengejar presiden. Di tangga istana negara, Amir Machmud memegangi tangan presiden. Ia berkata : "Mir, kemana bapak harus berjalan?". "Bapak mau kemana sekarang? Bapak tidak usah bingung karena ada perintah tegas dari Pak Harto untuk menjaga keselamatan Bapak dan tidak boleh satu peluru pun mengenai Bapak. Jadi Bapak harus tenang". jawab Amir Macmud (Amir Machmud, 1985, hal. 9). Amir Machmud kemudian menyarankan agar presiden beristirahat di Bogor.
Presiden di antar oleh Amir Machmud dan didampingi oleh Sabur dan Mangil menuju helikopter yang diparkir didepan istana. Presiden dikawal Sabur dan Mangil masuk helikopter dan terbang menuju ke utara untuk menghindari ditembak oleh pasukan tanpa identitas. Dari helikopter presiden menyaksikan sendiri adanya pasukan yang berbaur dengan demonstran yang jumlahnya lebih kurang satu batalyon (H. Mangil Martowidjojo, 1999, hal 423).
Waperdam Dr. Soebandrio setelah presiden meninggalkan ruang sidang, mengikutinya dengan tergesa - gesa. Karena panik, ia lupa mengenakan sepatunya. Sepatunya tertinggal diruangan. Adalah kebiasaan para pejabat yang melepas sepatu dan mengendurkan talinya pada sidang atau rapat yang lama, karena panas atau tidak bebas. Dalam keadaan panik itu Soebandrio melihat sepeda dan dikendarainya keluar istana dengan maksud pulang ke rumahnya dijalan Imam Bonjol. Di bundaran air mancur, ia kembali ke istana karena melihat demonstran jumlahnya sangat banyak di jalan Thamrin. Kemudian ia bersama Waperdam Chairul Saleh meminta diterbangkan dengan helikopter menyusul presiden ke Bogor. Setiba di Bogor, Jenderal Sabur menyambut kedua Waperdam tersebut, mereka dipersilahkan menuju paviliun. (H. Mangil Martodidjojo, 1999, hal 424).
Amir Machmud kembali ke istana setelah presiden berangkat. Tiba di tangga sebelah barat Istana Merdeka, ia bertemu Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi) yang berjalan bersama Brigjen M. Jusuf (Menteri Perindustrian Dasar / Ringan). Tiba - tiba saja Jusuf mempunyai ide, sebaiknya mereka pergi ke Bogor menyusul presiden dengan bermaksud berbincang - bincang dengan presiden, agar presiden tidak merasa ditinggalkan oleh Angkatan Darat. Amir dan Basuki setuju.
Tatkala mereka sedang berbincang-bincang, datang Mayjen Mursyid Deputi Menteri Kompartemen Pertahanan. Amir menawarkan, apakah ia mau pergi ke Bogor bersama - sama. Mursyid menjawab "tidak perlu". Amir menyarankan agar lebih dulu melapor ke Pak Harto. Jenderal Jusuf buru - buru pergi ke Markas Besar Angkatan Darat (MABAD), maksudnya akan melapor kepada Jenderal Soeharto. Ia masuk ruang Wapangad Mayor Jenderal Panggabean, melapor ingin bertemu dengan Pak Harto. Wajah Jusuf tampak tegang dan tergesa - gesa (excited). Ia melaporkan kepada Panggabean, bahwa telah terjadi peristiwa yang istimewa (Sayidiman S., 1997, hal 371). Dari MABAD, Jusuf kembali ke istana, kemudian mereka bertiga menuju ke rumah Pak Harto di Jl. H. Agus Salim 98. Amir Machmud sudah tahu Jenderal Soeharto sakit, karena selalu kontak. Mereka diterima di kamar tidur. Setelah melaporkan situasi sidang kabinet, mereka meminta ijin akan menghadap presiden di Bogor. Soeharto mengijinkan mereka pergi dan menitipkan pesan kepada Presiden Soekarno. Pesan Jenderal Soharto adalah "Agar Bung Karno memberikan kepercayaan kepada saya untuk mengatasi keadaan. Tidak ada perintah lain". (Wawancara Presiden Soaharto dengan Nugroho Notosusanto, tanggal 3 Maret 1977). Demikian pesan Pak Harto yang dititipkan kepada tiga periwira tinggi itu. Mereka kemudian kembali ke istana, meminta helikopter untuk berangkat ke Bogor (Amir Machmud, 1985, hal. 9 dan Wawancara Presiden Soaharto dengan Nugroho Notosusanto, tanggal 3 Maret 1977).
Kedatangan ketiga perwira tinggi itu di Bogor sekitar pukul 15.00 disambut Mangil, di antar menuju ke salah satu paviliun. Mereka berbincang - bincang dengan Brigjen Sabur, karena presiden sedang beristirahat. Beberapa saat setelah presiden bangun, Sabur melapor. Presiden bersedia menerima mereka. Sabur mempersilahkan ketiga perwira tersebut ke paviliun presiden, menghadap presiden. Presiden tampak menahan marah, susana cukup menegangkan. Apalagi terhadap Amir Machmud. Presiden langsung menumpahkan amarahnya. Ia menuduh Amir membohonginya. Setelah amarhnya reda, presiden menanyakan situasi terakhir di Jakarta. Pada kesempatan itu Basuki Rachmat sebagi perwira yang senior, menyampaikan maksud kedatangannya danm menyampaikan pesan Jenderal Soeharto, agar Bung Karno memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengatasi keadaan. Kemudian mereka mengadakan pembicaraan serius. Apa yang dibicarakan pada pertemuan itu, tidak pernah ada sumber lain yang menjelaskan. Rupanya pembicaraan disekitar pesan Jenderal Soeharto. Presiden didampingi oleh Jenderal Sabur.
(Catatan : Karena belum ditemukan catatan pembicaraan yang mungkin ditulis oleh Sabur, selaku ajudan, banyak para penulis yang membuat tafsiran atau versi yang berbeda - beda. Ada yang menyatakan bahwa presiden "dipaksa" membuat surat perintah untuk Soekarno, dan ada pula yang menyatakan dipaksa menandatangani surat perintah yang telah dibawa dari Jakarta. Tafsiran dan munculnya berbagai versi tersebut karena ketidaktahuan mereka akan hirarki militer dan hubungan presiden dengan ketiga perwira tersebut. Amir Machmud adalah jenderal yang sangat setia kepada Soekarno. Ia seorang Soekarnois sejati (tanpa reserve), mengakui seringkali mendapat "kuliah" dari Bung Karno secara pribadi di Istana Bogor tatkala ia menjabat Kepala Staf Komando Resimen Infanteri Suryakencana Bogor pada 1956. Dan tatkala ia menjabat Panglima Kodam X/Lambung Mangkurat (Kalimantan Selatan) dimutasi menjadi Panglima Kodam V/ Jaya oleh Presideb Soekarno, menggantikan Oemar Wirahadikusumah yang juga orang kepercayaan Presiden Soekarno. Oemar berdinas di Jakarta sejak ia menjabat Komandan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR) berpangkat Letnan Kolonel sampai menjadi Panglima Kodam V / Jaya berpangkat Mayor Jenderal. Sedangkan Brigjen Jusuf adalah mantan Panglima Kodam XIV / Hasanudin (Sulawesi Selatan/Tenggara) yang berhasil memulihkan gangguan keamanan di Sulawesi Selatan. Ia seorang pengagum Soekarno dan disayangi Soekarno. Ia dipromosikan jabatannya menjadi Menteri sejak Kabinet Dwikora. Selanjutnya Basuki Rachmat adalah bekas Panglima Kodam VIII/Brawijaya dan bekas pembantu dekat presiden, sebagai Kepala Staf Penguasa Perang Tertinggi (Peperti). Dan Brigjen Sabur, seorang perwira Polisi Militer yang sejak berpangkat kolonel menjabat sebagai salah sorang Ajudan Presiden. Kemudian ia memperoleh promosi menjadi Brigjen dan Komandan Pasukan Pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa. Para perwira tinggi itu adalah perwira - perwira dikenal sangat dekat dengan presiden).
Surat Perintah 11 Maret 1966 - Bagian II (Akhir)
Surat Perintah 11 Maret 1966 - Bagian II (Akhir)
No comments:
Post a Comment