Salah satu fenomena sosial yang dihadapi pendidik saat ini adalah
masalah tawuran. Dalam ranah sosiologi, tawuran merupakan bentuk dari proses sosial
dissasosiatif yang melibatkan dua atau lebih kelompok orang yang saling
bertentangan yang menyebabkan terjadinya benturan fisik di antara kelompok-kelompok
tersebut, berakibat merusak diri dan lingkungan disekitarnya. Tawuran bisa
dilakukan siapa pun, mulai dari masyarakat umum, mahasiswa dan yang lebih
sering kita lihat yaitu tawuran yang melibatkan pelajar. Biasanya tawuran
terjadi di tempat – tempat umum seperti dijalan raya, di tempat terbuka, dan
tempat-tempat lainnya yang memungkinkan bertemu-nya dua kelompok yang saling
bertentangan. Dalam kasus tertentu, bahkan tawuran bisa juga terjadi
dilingkungan pendidikan seperti sekolah.
Tawuran pelajar terjadi biasanya dari hal yang sederhana seperti
saling ejek antar satu sekolah terhadap sekolah lain. Atau mungkin ada salah
seorang siswa di satu sekolah mempunyai masalah dengan siswa di sekolah lain. Dengan tingginya rasa
solidaritas, maka teman-teman di sekolah yang sama akan memberikan dukungan,
sehingga terbentuklah kelompok yang mengatasnamakan sekolah dan ketika bertemu
dengan kelompok lain, biasanya akan terjadi benturan. Jika sekali terjadi
benturan, dan menyebabkan adanya korban disalah satu atau dua kelompok
tersebut, berikutnya akan tertanam rasa dendam di hati kelompok – kelompok
tersebut. Selebihnya, mereka yang tidak terlibat karena mempunyai almamater
yang sama, tidak jarang mau atau tidak mau mereka akan terlibat dalam
kelompok-kelompok tersebut karena jika tidak ikut anggota kelompok, bisa jadi
dia akan dijadikan sasaran dari kelompok
dari sekolah lain.
Selain rasa solidaritas yang tinggi seperti diuraikan di atas,
tawuran pelajar terjadi antara lain karena psikologi siswa yang nota bene masih remaja bersifat labil,
kurangnya pengawasan dari orang – orang yang berkepentingan, dan pola
pendidikan yang diterapkan di keluarga dan juga sekolah, diduga sebagai
penyebab terjadinya tawuran.
Usia pelajar biasanya dia antara 7 – 18 tahun. Pada usia ini, mereka
belum bisa menemukan arah hidup yang jelas. Rasa ingin tahu yang besar,
seringkali membuat mereka mencoba-coba sesuatu yang baru terlepas dari baik
atau buruknya hal tersebut. Demikian pula ketidakstabilan emosi membuat mereka
mudah sekali terpengaruh oleh lingkungannya. Sehingga apa yang dilakukan teman,
selalu dijadikan dasar melakukan tindakan. Belum lagi rasa ingin diakui sebagai
bagian dari kelompok pertemanannya. Maka mereka melakukan apapun tanpa
mempertimbangkan baik atau buruk atas tindakan yang mereka lakukan demi
apresiasi dari teman-temannya. Termasuk didalamnya tawuran. Mereka ikut
terlibat tawuran demi menunjukan eksistensi dirinya bahwa ia mampu melakukan
apa yang teman mereka lakukan.
Dengan masih labilnya kejiwaan usia remaja, sudah selayaknya orang
dewasa mampu memberikan arahan dan pengawasan secara konsisten. Namun pada
kenyataannya, tidak jarang orang tua terlalu sibuk dengan kepentingannya dan
membiarkan pergaulan anaknya tanpa memperdulikan dengan siapa atau apa yang
anak-anak mereka lakukan. Disekolah,
pendidik pun seolah menutup mata tentang apa yang dilakukan siswa ketika diluar
jam pelajaran. Mereka berdalih bahwa tugasnya mendidik hanya pada saat jam KBM
saja, selebihnya bukan tanggungjawab mereka. Demikian pun pihak terkait lainnya
yang kurang begitu mempedulikan apa yang dilakukan pelajar diluar jam sekolah.
Terkadang, apa yang dilakukan remaja adalah cermin dari pendidikan
yang dilakukan dirumah. Orang tua yang keras, akan membentuk anak dengan karakter
yang sama. Begitu pun jika anak yang kurang mendapat perhatian dari orang
tuanya, biasanya ia akan menjadi anak broken
home. Ditambah lagi dengan pembelajaran disekolah yang tidak menarik dan
membosankan. Sehingga mereka lebih senang bermain dengan teman sebayanya.
Senang berkumpul dan melakukan tindakan bersama termasuk didalamnya adalah
tawuran. Secara sederhana, tawuran terjadi sebagai bentuk kegelisahan anak
terhadap apa yang ia dapatkan dirumah dan sekolah.
Untuk mencegah terjadinya tawuran pelajaran, sebetulnya banyak hal
yang bisa dilakukan. Pertama, mulailah lebih intensif memberikan perhatian dan
bimbingan terhadap pelajar. Hal ini bisa dilakukan oleh orang tua, guru dan
pihak terkait lainnya. Kedua, ikutkan pelajar pada kegiatan – kegiatan positif
yang terdapat disekolah atau ditempat lainnya. Sekolah pun harus mampu merancang
kegiatan – kegiatan apa yang memang sesuai bakat dan minat siswanya, sehingga
mereka tertarik untuk ikut terlibat kegiatan tersebut. Ketiga, lakukan
pengawasan yang lebih ketat dari semua unsur terlibat, mulai dari orang tua, sekolah
dan pihak lainnya. Sekolah bisa melakukan tindakan yang lebih tegas lagi bagi
pelaku tawuran. Teknisnya, buat pernyataan bermaterai bagi seluruh siswa bahwa
mereka tidak akan pernah terlibat tawuran, jika terbukti secara sah dan
meyakinkan, lakukan tindakan tegas seperti yang tertuang dalam pernyataan
tersebut, seperti dengan pemberhentian
dari sekolah atau sejenisnya. Tujuannya adalah memberikan efek jer dan
pembelajaran bagi siswa yang lain. Lebih baik mengorbankan satu siswa dari pada
harus mempertaruhkan seluruh siswa lainnya. Bagaimana pun tawuran lebih baik
dicegah sebelum itu terjadi. Maka sudah selayaknya semua pihak bahu membahu
dalam membentuk paradigma siswabahwa tawuran itu salah dan harus dihindari. Semoga
kedepannya, pelajar – pelajar kita unggul dalam prestasi, bukan lagi dalam aksi
kekerasan.
No comments:
Post a Comment