Kriktik Mendikbud dan Realita Profesionalitas Guru Di Sekolah (Edisi Curhat)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy mengkritik keras guru terkait dengan pekerjaannya. Seperti yang dilansir radarsarko.com (31/10/2016), Muhadjir meminta agar guru bekerja lebih baik lagi tidak mulu menggunakan metode ceramah, memberikan tugas, kemudian memberikan pekerjaan rumah (PR). Menurut Muhadjir, guru saat ini sudah mapan, maka sudah seharusnya bekerja lebih baik.

"Guru - guru harus sadar, pemerintah sudah mengeluarkan dana begitu besar untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Timbal balik dari itu adalah guru harus mengajarkan siswa lebih baik lagi. Jangan hanya cuap - cuap habis itu kasih PR" kata Muhadjir pada saat penyerahan penghargaan serta hadiah karya lomba video pendek "Sekolahku Masa Depanku" di Jakarta. Ia juga menambahkan "Guru tidak ada pilihan lain selain bekerja baik karena sudah menikmati kemapanan. Jangan hanya datang memberikan ceramah dan memberikan tugas"

Sebagai guru, mendapat kritik seperti itu rasa - rasanya saya ingin sekali berkomentar. Bukan untuk menentang pendapat tersebut, tapi saya ingin mengamininya. Fakta dilapangan, masih banyak guru jauh dari kata profesional pun demikian yang sudah dinyatakan bersertifikat pendidik. Masih banyak bukan berarti tidak ada. Banyak juga guru yang memiliki komitmen yang tinggi sebagai pendidik.

Apa yang dikatakan Mendikbud bahwa banyak guru yang datang hanya untuk ceramah dan memberikan tugas itu nyata. Mungkin termasuk juga saya didalamnya. Saya adalah guru yang diangkat pemerintah daerah untuk mengajar mata pelajaran IPS di sebuah sekolah dengan pelayanan minimal. Saat pertama saya diangkat sebagai guru, idealisme saya begitu menggebu, betapa banyak yang harus diperbaiki dalam sistem pendidikan ini. Anak muda yang bersemangat tujuh tahun lalu, mencari- cari berbagai terobosan dalam melakukan pembelajaran. Namun semua tampak tak berarti. Sistem lingkungan tidak mendukung ke arah itu. Dan saya terbawa sistem yang ada. Datang ke sekolah, materi sudah di otak, memberikan ceramah, tugas, selesai sudah pekerjaan saya sehari itu sebagai guru. Saya sadar ini salah. Tapi hampir semua guru dilingkungan kerja saya seperti itu. Saya pikir, mengapa saya harus repot - repot toh yang lain juga sama santainya. Mereka bekerja seadanya, saat naik pangkat mereka naik pangkat. Saat gajian mereka gajian. Saat pemberian tunjangan sertifikasi mereka dapatkan tunjangan. Absen bisa di manipulasi. Surat tugas bisa dibuat kapan saja. Kepala sekolah juga tidak terlalu ketat. Jadi apa yang dikejar? Anak pintar anak bodoh, itu tergantung anaknya. Masa depan anak bukan ditentukan saat ini. Jadi apa lagi yang harus diperjuangkan? Pola seperti ini saya meyakini banyak diterapkan di sekolah - sekolah pinggiran lain dengan stempel standar pelayanan minimal. 

Sebagai guru profesional, seharusnya guru benar - benar menyiapkan pembelajaran dengan matang. Detail skenario dengan berbagai metode yang efektif dipikirkan matang - matang. Penggunaan berbagai media juga dianggap sangat penting dalam sebuah pembelajaran. Hal ini tentu membutuhkan waktu dan juga biaya lebih. Untuk waktu, guru memiliki banyak waktu karena hanya 24 jam mengajar setiap minggunya. Untuk biaya, bukankah guru sudah menerima tunjangan sertifikasi?. Namun kenyataaannya bagaimana? Ya mengajar begitu - begitu saja. Kalau dikembalikan pertanyaannnya kepada saya, saya jawab saya juga sama begitu. Tapi saya punya argumen lain untuk itu.

Pertama, saya belum menerima tunjangan sertifikasi. Gaji saya hanya sisa utang (apalagi rekan honorer  yang memiliki gaji dibawah 1 juta). Jangankan untuk membuat berbagai media, untuk makan saja pas - pasan. Yang sudah sertifikasi juga jarang membuat berbagai media, jadi mengapa saya harus repot-repot. Kedua, kepemimpinan kepala sekolah tidak terlalu memotivasi, tidak ada reward dan punishment yang jelas. Ketiga, kinerja pengawas sekolah kurang maksimal. Kelengkapan administrasi bisa di negosiasi. Demikian pula pada saat kenaikan pangkat. Keempat, pola pembagian jam mengajar juga terkesan syarat kepentingan. Betapa tidak, pembagian jam mengajar guru PNS adalah sisa setelah jadwal guru honorer dibuat. Secara manusiawi saya memaklumi alasan kenapa seperti itu. Kelima, kompetensi saya masih kurang dan perlu bimbingan lebih lanjut. Saya melihat peningkatan kompetensi dengan berbagai pelatihan yang saya ikuti lebih terkesan seremonial dan asal ada.

Jadi menanggapi kritik Mendikbud tersebut, jujur saya akui itu memang benar adanya. Guru datang hanya untuk memberi ceramah, tugas, dan PR. Inovasi pembelajaran masih sangat minim. Tapi bagi saya itu masih jauh lebih baik jika guru masih mau datang dan mengajar di sekolah. Fakta lain mengatakan bahwa karena tidak ada pengawasan yang ketat, guru datang dan mengajar "seenaknya". Maksudnya adalah seringkali membiarkan kelas tidak di ajar. Atau pun hadir di sekolah hanya untuk memberikan tugas. Kesadaran masuk kelas rendah. Bahkan  kehadiran di sekolah pun masih perlu diperbaiki. Mengapa ini terjadi? Sekali lagi karena pengawasannya yang kurang. Kepala sekolah dan guru bersinergi untuk saling menutupi hal tersebut karena dua - duanya saling diuntungkan. Jadi bagaimana bisa dikatakan profesional jika kehadirannya saja seperti itu, dan kalau pun hadir tidak masuk ke kelas. Dan kalau pun masuk ke dalam kelas terlambat puluhan menit. Jadi saya pikir jika ada guru mengajar hanya untuk memberikan ceramah, tugas dan PR, itu masih lebih baik dibanding yang ke sekolah saja jarang.

Ke sekolah jarang, masuk kelas jarang, tapi dapat gaji. Bagaimana bisa? Absensi nya bagaimana? Absen sistem rapel, sekaligus di tanda tangan. Hadir tidak hadir tinggal ditandatangan. Lain - lain bisa di atur.

Sebenarnya permasalahan apa yang menyebabkan guru tidak profesional? Kalau menurut saya, hal ini terjadi karena kurangnya idealisme dan komitmen sebagai guru. Tidak memandang gaji atau penghasilannya berapa banyak, guru yang tidak memiliki idealisme yang tinggi pasti bekerja seperti halnya karyawan. Tanpa memikirkan inovasi atau pembaharuan dalam pembelajaran. Seperti nya saya harus segera berbenah diri. Idealisme saya harus dibangkitkan kembali. Komitmen dalam memajukan dunia pendidikan juga harus saya jaga. Mudah - mudahan saya beserta rekan lain bisa menjadi guru profesional. Terima kasih pak menteri atas kritikannya.

Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapa pun. Tulisan ini ditujukan untuk diri saya sendiri yang memiliki kinerja masih jauh dari harapan. Semoga ke depan saya lebih baik lagi. Minimalnya saya sadar untuk masuk kelas dengan rajin. Pun demikian rekan - rekan yang lain. 

No comments:

Post a Comment