Cerpen : Salah Masuk

Salah Masuk

Oleh Ilalang



Kebiasaan saya kongkow (kumpul-kumpul) bersama teman. Hari itu saya kumpul bersama teman di sebuah warung kecil yang berada pada sebuah bukit yang cukup tinggi dihiasi pepohonan hijau dengan pemandangan hamparan laut biru membentang luas.

Cukup lama kami berada di warung itu sambil berbincang tidak jelas. Kami terdiri dari enam orang. Di warung yang sama kami  mengkonsumsi obat terlarang yakni merk excimer, sejenis obat penenang. 

Waktu itu saya sendiri minum  4 butir. Teman-teman juga ikut mengkonsumsi. Ada yang cuma 2 butir, 5 butir bahkan ada yang 8 butir. Oia, sebelumnya di pagi hari saya sudah mengkonsumi 6 butir. Jadi total saya konsumsi 10 butir.

Tujuannya sih biar ada perasaan "ngefly" dan perasaan tenang. Bahkan bisa buat tambah rajin kerja. Apa saja mau kita lakukan. Tapi entahlah, yang jelas kami suka mengkonsumsi obat yang dilarang peredarannya secara umum ini.

Sekitar jam setengah 12 siang, kami pindah tempat tongkrongan. Tidak jauh dari bukit tersebut merupakan pantai yang indah. Dengan ombak yang tidak terlalu tinggi. Cuacanya cerah bahkan panas terik. Kami pindah ke pantai itu.

Kami duduk dibatu-batu yang ada di sekitar pantai. Sambil bercanda-canda tidak jelas. Disini kami mengkonsumi obat lagi. Jenis tramadol dan obat batuk merk komix. Saya minum 8 buah dan komix satu box. Teman yang lain juga sama.

Sekira pukul setengah 2 kami kembali ke tempat semula. Di warung itu kita mainkan musik ditemani kopi hitam. Hingga waktu ashar tiba.

Jam 4 lebih saya pamit ke  teman-teman untuk pulang. Dengan  kuda besi honda CBR15 warna hitam saya pulang sendiri dengan kecepatan rata-rata 70 km/jam. 

Karena badan terasa lelah, saya berhenti disebuah bengkel. Saya titipkan motor dibengkel. Saya memilih jalan kaki karena jarak rumah tidak terlalu jauh. Saya berjalan menyusuri jalan aspal dengan perasaan ngefly akibat obat. 

Bengkel memang tidak terlalu jauh dari rumah saya. Sekitar 100 meter dari bengkel saya masuk ke rumah. Saya kira itu rumah saya. Mungkin karena pengaruh dari obat-obatan yang saya konsumsi. Ternyata itu rumah orang. Rumah tetangga saya.

Saat saya masuk, didalam ada seorang gadis sekitar 14 tahun sedang berbaring maen handphone. Saya mendekat ke gadis itu. Dia tampak tidak kaget karena dia tetangga saya. Saya kemudian tiduran disamping dia. Oia, waktu tidak ada siapapun selain gadis tetangga saya itu.

Waktu itu imajinasi saya sedang berada di rumah sendiri, dan gadis itu seolah istri saya. Saya peluk gadis itu seolah saya meluk istri saya. 

Gadis itu memakai rok panjang berwarna hitam, pakai kaos biru dirangkap cardigan keemasan. Tanpa membuka baju, saya berusaha membuka celana dalamnya. Namun ia menolak. Ia memilih membuka sendiri celana dalamnya. 

Setelah gadis itu buka celananya, saya pun langsung tancap gas. Kami berhubungan intim. Tidak ada obrolan. Tidak ada teriakan.  Saat saya akan ejakulasi saya cabut dan ditumpahkan dilantai. 

Setelah berhubungan intim, saya kenakan kembali celana panjang saya. Tanpa bicara sepatah pun saya keluar dan pikiran saya mengajak untuk pergi ke rumah orang tua saya yang tidak terlalu jauh dari rumah saya.

Di rumah orang tua, saya tiduran di kamar adik laki-laki saya sambil menengerkan musik. Saya baru sadar kemudian besok paginya saat bangun tidur.

Saat besoknya saya bertemu gadis itu, saya biasa saja karena saya kira tidak ada sesuatu yang terjadi soalnya saat berhubungan intim dengan dia sama sekali saya tidak sadar kalau itu si gadis dan saya hanya tahu bahwa saya berhubungan intim dengan istri saya.

Sorenya saya diajak nonton sama teman. Nonton konser musik regae di Cipinang, Bayah. 

Pulang nonton sekira pukul 23.00 WIB saya ke bengkel. Tiba-tiba beberapa orang teman memberitahuku bahwa saya di cari kepala desa. 

Dalam benak saya pasti masalah obat lagi. Soalnya beberapa kali saya berurusan dengan kades gara-gara obat.

Tidak berapa lama kades datang ke bengkel dan meminta saya ke kantor desa. Disana saya di interograsi tentang apa yang sudah saya lakukan ke gadis itu. 

Karena saya tidak merasa, saya balik nanya, tentang apa yang sudah saya lakukan. Kades pun menceritakan apa yang sudah saya lakukan terhadap si gadis. Serta merta saya membantah karena saya merasa tidak pernah melakukannya.

Tapi kades terus mendesak dan akan menghadirkan saksi yang melihat. Ia terus mendesak bahkan mengancam akan membawa ke kantor polisi. Karena saya merasa tidak bersalah, saya menentang kades dan memintanya agar dia bawa saya ke kantor polisi.

Malam itu saya pun diminta menginap di kantor desa. Saya diminta membeli lauk untuk makan bersama di kantor desa.

Pagi harinya saya diminta ke rumah kades. Di sana sudah ada korban, keluarga korban dan saksi mata yang melihat.

Oleh kades kami diminta berembuk dan mencari jalan tengah. Satu persatu kami ditanya termasuk korban. Dan gadis itu pun mengakui apa yang sudah terjadi.

Kades menawarkan agar diselesaikan secara kekeluargaan. Dengan membuat surat pernyataan. Dihadirkan saksi di atas materai dan pihak korban tidak boleh menuntut saya. Kira-kira begitu isi perjanjiannya. 

Setelah itu saya diminta memberikan uang Rp 6.5 juta kepada kades. Tapi waktu itu saya hanya membawa uang 4jt. Sisanya mau ambil di rumah.  Tapi tidak diijinkan. Orang tua saya yang harus datang ke rumah kades.

Setelah orang tua datang, uang pun dibayar. Kami bersalaman. Pulang dan tidak berpikir akan terjadi yang lebih parah.

Ternyata di sosmed kasus saya viral. Bibi korban memviralkan kasus saya. Akhirnya semua orang tahu. Satu desa tahu apa yang terjadi. 

Keesokan harinya pegawai desa menjemput saya ke rumah diminta mengikuti dia. Dibawalah saya ke kantor desa. Di sana sudah ada polisi dari polsek.

Saya pun dibawa ke kantor polsek. Saya sama sekali tidak berpikir akan sampai seperti ini. Sesampainya di kantor polisi saya langsung masuk sel.

Pada saat dilakukan penggeledahan, polisi menemukan obat terlarang di kantong saya. Malam itu saya tidur di kantor polisi.

Besok sorenya saya di BAP oleh polisi. Saya tidak merasa melakukan tapi saya iyakan saja pertanyaan polisi. Saya iyakan karena ditanya terkait masalah obat juga.

Oleh polisi bertanya apakah saya mau dua berkas naik ke pengadilan. Satu kasus dengan si gadis, dua kasus obat terlarang. Ya tentu saya tidak mau. Saya katakan pada mereka untuk memberika  kebijaksanaan. 

Saya menghubungi orang tua. Orang tua saya datang. Saya minta orang tua menyediakan sejumlah uang. 

Uang sejumlah Rp 38 juta berhasil dikumpulkan. Saya kemudian serahkan uang itu pada polisi untuk menutup kasus obat. Polisi menolak. Polisi marah karena dianggap menyuap. 

Karena polisi menolak keluarga pun meminta saya untuk menjalani kedua kasus karena mereka tidak sanggup menambah uang yang ada. Saya pasrah. 

Tapi kemudian ketiga polisi di polsek tersebut itu akhirnya mau menerima uang saya.  Mereka pun berjanji akan menutup satu kasus saya. Kasus obat terlarang.

Selama dua minggu saya menginap di polsek. Selama itu saya terus ditanyain untuk menggali informasi.

Setelah itu saya di bawa ke markas polres. Saya menjadi tahanan polres. Saya langsung dimasuka  ke dalam sel yang ada di polres tersebut. Di dalam sel tersebut dihuni 22 orang tahanan plus saya jadi 23 orang tahanan.

Masuk ke dalam ruang tahanan saya disambut dengan tidak simpati oleh tahanan lama. Saya diminta duduk menghadap tembok seharian sambil dipukulin dan ditendang. 

Pertama kali di tendang dengan kaki ke arah kepala. Semua penghuni memberi satu pukulan. Hanya kepala kamar (palkam) yang tidak. 

Saya kemudian di bawa ke kamar depan dengan ukuran 3 x 3 meter. Disana saya berdiri memghadap tembok. Rupanya para tahanan itu sedang merencanakan sesuatu. Mereka membuat sambal pedas dari cabe rawit. 

Saya pikir sambal itu untuk apa. Ternyata sambal pedas itu di berikan pada mata saya. Bukan ke pinggirnya. Tapi di masukin ke dalam mata saya. Bola mata saya. Sangat pedihh, pedih sekali. 

Mata saya sampai tidak melihat. Air mata bercucuran. Dengan mata yang kepedesan, saya diminta kembali ke kamar belakang. 

Di sana saya mencium beberapa aroma seperti  balsem GPU, sambal ABC, odol, deterjen dan sabun krim. Oleh mereka barang-barang itu dicampur menjadi satu. 

Ternyata racikan yang mereka buat untuk saya onani. Saya diminta membuka celana saya dan dipaksa melakukan onani. Karena saya tidak pilihan saya pun melakukan onani dengan bahan-bahan yang mereka buat. Dari setelah magrib sampai 9 malam. 

Saya tidak bisa ejakulasi. Rasanya perih, panas, dan pedes. Sangat menyakitkan. Susah untuk dibayangkan.

Tangan bekas onani diminta dilarang dicuci. Lagi-lagi saya dipaksa mengusapkan tangan pedas itu ke muka. Sambil melakukan apa yang mereka suruh, saya terus menurus di gamparin. Padahal mata saja belum sembuh bekas sambel. Saya tidak bisa melihat waktu itu.

Saya pun ditanya apakah mau enak atau mau sulit tinggal di situ. Ya saya jawab mau enak. Saya ditanya tentang kesanggupan saya membayar gaulan. Gaulan merupakan uang yang harus dsetorkan ke kamar agar saya tidak dianiaya lagi.

Saya diminta bayar Rp 5 jt. Keluarga saya mencari uang tersbut dan setelah terkumpul saya pun bayar ke palkam. Saya kira saya tidak akan lagi jadi bulan-bulanan mereka. Tapi ternyata selama satu minggu penuh saya tetal jadi bahan  mainan mereka. Saya dipukuli terus setiap hari sampai kaki pun tak sanggup jalan. 

Polisi yang jaga hanya tutup mata dan telingga. Seolah tidak terjadi apapun. Dan saya tidak bisa melaporkan ini ke siapapun. Saya berada didalam bersama mereka, jika saya lapor bisa saja saya mati.

Minggu kedua penganiayaan pada saya berkurang atau berhenti. Saya mulai bergaul dengan orang lama. Satu sebulan saya di penjara polres.

Kemudian saya diterbangkan ke rutan. Saya mengikuti proses persidangan dan divonis 6 tahun 6 bulan. 

Saya kadang suka berpikir, mengapa sampai jadi seperti ini. Saya yakin seratus persen kalau waktu itu saya bersetubuh dengan istri saya. Bukan si gadis. Tapi kenyataan berkata lain. Ini akibat obat setan. Kesadaran saya hilang.

Ya sudah, saya harus menjalani hari-hari saya disini. Merenungi apa yang sudah terjadi. Semoga kehidupan saya ke depan jadi lebih baik lagi. 

No comments:

Post a Comment