Sejarah Pembentukan Provinsi Banten (Bagian 3)

Tim Kolonel Abdullah berhasil membuat semacam konsensus dengan rakyat Banten melalui keputusan DPRD-GR se-wilayah Banten yang menandaskan bahwa secara substanstif tuntutan Propvinsi Banten merupakan hak dan asiprasi rakyat namun waktunya dianggap belum tepat. 

Meskipun hal ini dianggap menutup harapan untuk terwujudnya Provinsi Banten, pada tanggal 24 Agustus 1970, 27 anggota DPR-GR dengan juru bicara Bustaman,SH, mengajukan usul inisiatif membuat RUU pembentukan Provinsi Banten (isi surat kepada DPR-GR-RI dan RUU Provinsi Banten dapat dibaca dalam Mansur, 2001:91). 

Usul itu tidak sempat disidangkan karena banyaknya hambatan antara lain Gubernur Solichin.GP. Tidak siap melepas Banten dan Pemerintah Pusat tidak memberikan lampu hijau. Sementara itu rekomendasi DPR-GR-RI tk.I Jawa Barat menyerahkan sepenuhnya kepada Pusat.

Selanjutnya, pada tanggal 25 Oktober 1970 diadakan Sidang Pleno Musyawarah Besar Masyarakat Banten untuk mensyahkan Presidium Panitia Pusat Provinsi Banten, duduk sebagai Ketua Penasihat Tb. Bachtiar Rifa’i, dengan Ketua Ayip Abdurachman an Sekretaris Achmad Nurjani. Duduk pula sebagai anggota : Uwes Qorny, yang 30 tahun kemudian kembali menggelar keinginan masyarakat Banten untuk mendirikan Provinsi sendiri. Selain itu, ada juga Ekky Syahrudin, Hasan Alaydrus, yang juga ikut andil dalam era reformasi nanti (Supandri, 2002:32-33). 

Ada satu hal yang membanggakan masyarakat Banten pada tahun 1970 ini, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui Kepres No.45/TK/1970. Yang tidak menggembirakan DPR-GR hasil Pemilu 1971 ternyata tidak mengagendakan RUU Provinsi Banten. Setelah itu, masyarakat Banten terpaksa berdiam diri sepanjang sisa masa Orde Baru. 

Memang ada satu atau dua kali aksi mahasiswa Banten di Bandung yang berunjuk rasa tetapi tidak memberikan gaung yang diharapkan. Dengan pendekatan keamanan yang dikendalikan dari Bina Graha mampu menjaga sifat kenegaraan yang patrimonialistis.

Hingga tiba-tiba saja 26 tahun kemudian ketika kekuasaan Orde Baru mulai goyah pada bulan Agustus 1997, Uwes Qorny diwawancara oleh Lukman Hakim dari Harian Merdeka tentang perlunya dibentuk Provinsi Banten. Dalam berita berjudul “Uwes Qorny: saatnya Banten menjadi Provinsi ke-28″ diungkapkan bahwa Pemerintah Banten menjadi Provinsi ke-28 adalah hak rakyat dan merupakan aspirasi dinamis yang legal diungkapkan pula secara kronologis tentang gagasan untuk membentuk Provinsi Banten. 

Dengan munculnya berita ini, masyarakat Banten seakan dibangunkan dari tidurnya (Qorny dalam Mansur, 2001:94). Ketika Soeharto terpilih kembali dalam Sidang Umum (SU) MPR pada bulan Maret 1998 muncul reaksi negatif dari berbagai kalangan khususnya kekuatan-kekuatan infrastruktur politik yang menginginkan adanya perubahan Pimpinan Nasional, reaksi semakin keras ketika Presiden Soeharto mengumumkan susunan Kabinet pada tanggal 14 Maret 1998. Berbagai komentar bermunculan atas susunan Kabinet yang dipandang sarat dengan nuansa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Dalam Kabinet tersebut tidak hanya tampak kroni-kroni Soeharto, tetapi tampak salah seorang putri Soeharto Siti Hardiyanti Rukmana, yang dipercaya menduduki kursi Menteri Sosial. 

Rakyat seperti benar-benar kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Harapan untuk memperoleh pemerintahan yang bersih dan diharapkan mampu membawa bangsa dan negara keluar dari berbagai krisis yang terjadi seakan menjadi sirna dengan tampilnya Kabinet yang sarat KKN. 

Merasa pemerintahan baru yang tadinya diharapkan dapat mengatasi krisis sudah tidak dapat diharapkan lagi, rakyat pada akhirnya semakin terdorong untuk mengambil cara sendiri-sendiri dalam mengatasi kekecewaan. 

Upaya terakhir Presiden Soeharto guna mengembalikan kepercayaan rakyat ddengan melakukan upaya penyelamatan melalui reshuffle Kabinet gagal, para calon Menteri yang diminta dudukpun sudah tidak berminat mendudukinya lagi.

Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto meletakan jabatannya dan Wakil Presiden Habibie pun disumpah sebagai Presiden baru. dengan berakhirnya Orde Baru yang cenderung represif, kini masyarakat seakan menghidup udara segar demokrasi. 

Namun demikian, manuver politik Habibie lewat Kabinetnya ini bisa kurang mendapatkan respons positif dari masyarakat. Akan tetapi, untuk menjawab tuntutan masyarakat Habibie mengeluarkan kebijakan berupa perangkat perundangan, pembebasan para tahanan politik, pembukaan kebebasan pers, kebebasan mendirikan Partai Politik dan pembaruan hukum, dan hak asasi manusia.

Dibidang ekonomi, Habibie pun berupaya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat menurunkan tingkat inflasi, melaksanakan pemulihan ketersediaan keterjangkauan ekonomi, pengembangan ekonomi kerakyatan, restrukturisasi Perbankan, dan perbaikan kurs rupiah. 

Kebijakan pembebasan tahanan politik sedikit banyaknya mengangkat citra pemerintahan Habibie sebagai pemerintahan yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis. 

Dukungan atas kebijakan ini tidak hanya datang dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Manuver Habibie mengadakan berbagai perubahan politik untuk mendogkrak simpati rakyat terhadap pemerintahannya lambat laun melahirkan harapan positif rakyat terhadap eksistensi pemerintah yang dipimpin Habibie. Inilah peluang baru bagi masyarakat Banten untuk merealisasikan keinginan yang lama terpendam. 

Sehari setelah Presiden Soeharto lengser, ribuan masyarakat Banten yang dipimpin oleh H. Embay Mulya syarif dan sejumlah tokoh muda Banten mendatangi Senayan untuk menyatakan dukungan kepada B.J. Habibie. Ketika dilakukan Sidang Istimewa pada tanggal 10 November 1998, pemerintah memutuskan diadakannya (Pengamanan Swakarsa) untuk mengamankan jalannya Sidang. Sekali lagi, rombongan warga Banten datang untuk ikut menjadi Pam Swakarsa (Mansur, 2001:124).

Pada awal tahun 1999, Presiden BJ. Habibie merencanakan kunjungan kerja ke Banten pada akhir bulan Januari 1999, H. Embay Mulya Syarif dengan disertai beberapa Kyai dan beberapa tokohnya dipanggil ke Istana Presiden dalam rangka persiapan kunjungan ini. 

Sebagaimana direncanakan pada hari Jum’at 5 Februari 1998 Presiden Habibie berkunjung ke Banten. Tempat pertemuan yang dipilih adalah Pondok Pesantren Daul Iman Pandeglang yang dipimpin K.H. Aminuddin Ibrahim. 

Sesuai dengan skenario yang dirancang Gubernur Jawa Barat dan para Menteri yang datang yaitu Mensesneg Akbar Tandjung, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, Menteri Agama Malik Fajar, Menteri Koperasi/Pengusaha Kecil dan Mengengah Adi Sasono. 

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Iman K.H. Aminudin Ibrahim mengusulkan agar wilayah eks Keresidenan banten ditingkatkan menjadi Provinsi Banten. 

Dalam kesempatan itu, Presiden BJ. Habibie tidak menolak usulan itu, hanya menyatakan bahwa usulan itu harus melalui mekanisme konstitusional. Usul serupa diajukan oleh K.H. Mansur Muchjidin dalam acara dialog Presiden BJ. Habibie dalam kunjungan itu sama seperti ketika di Pandeglang (Mansur, 2001:127).



No comments:

Post a Comment